PERSEMBAHAN KECIL UNTUK IBU
Dalam perjalanan ke Bali, naluri ‘iseng’ ku keluar. Aku ingin membuat kejutan untuk ibu. Kususun strategi bersama giri. Aku berencana untuk pura-pura gagal dalam ajang kali ini. Untuk mendukung actingku itu, giri pun harus memiliki ekspresi yang serupa denganku. Ia pun setuju. Sesuai rencana, trophy yang berukuran kecil kubawa sementara piala dari MENDIKNAS langsung diungsikan ke sekolah dan disimpan di ruang piala.
Setibanya di rumah, aku pasang wajah lesu dan senyum yang seolah tampak dipaksakan sedangkan itu Giri hanya diam saja sambil mengeluarkan tas dari bagasi travel. Sesuai dugaanku, ibu menyambut kami dengan sebuah pertanyaan dan wajah yang agak sumingrah, “Gimana le lombanya?”. (le= panggilan untuk anak laki-laki di jawa. Berasal dari kata thole ). “Ya… gitu deh, ma.” Jawabku sambil menundukkan kepala. “Ga menang ya?” sahutnya kembali. Dengan agak sedikit menahan diri, aku mencoba untuk diam dan tetap bersikap lesu. Kulihat ibu menanyakan giri dengan bahasa isyarat. Sepertinya giri hanya mengangkat bahu, sesuai dengan ‘pesanan’ku sebelumnya, “Gir, kalo ibuku nanya apa-apa terkait lombanya jawab aja pake diam ato ga tau ya. Plis. Pengen buat kejutan.”
Aku langsung bergegas ke kamar dan meletakkan trophy juara 1 diatas meja kecil di kamar berukuran 2x3 dengan atap asbes itu. Agar tak begitu terlihat, kututup trophy itu dengan kresek hitam. Kuselipkan secarik kertas yang telah kupersiapkan sebelumnya yang bertuliskan,
“Ma… Ini oleh-oleh untuk mama. Angga ingin mama bisa tersenyum lagi. Maaf belum bisa memberikan apa-apa untuk mama. Cuma ini yang bisa angga berikan.”Setelah berganti baju, aku kembali keluar sambil tetap berharap Giri tidak membocorkan apapun terkait dengan kemenangan kami di MEDSPIN. Jika sampai demikian, kacau sudah semua rencanaku.
Masih dengan setelan gaya lesu, aku mendekati ibu dan duduk disebelahnya. “Lapar ya? Ntar dimasakin nasi goreng dulu ya?” tawarnya kepada kami. Melihat kondisi itu sebenarnya aku tak tega meneruskan sandiwara ini. Perbincangan kami bertiga berlanjut saat sarapan. Seperti dugaanku, ibu menanyakan tentang bagaimana lomba kemarin. Aku dan giri saling melengkapi, memberikan jawaban yang terkesan mengambang dan normatif.
Di akhir sarapan, ibu memberikan nasehatnya kepada kami, “Ya sudah, yang penting angga udah melakukan yang terbaik. Toh semuanya ga berakhir disini kan? Masih ada kesempatan-kesempatan lainnya. Kan masih ada Olimpiade kimia, Angga bisa berupaya lebih baik disana.” Mendengar nasehatnya itu, aku semakin iba untuk tetap menunda-nunda berita kemenangan kami. Giri hanya diam tak berkomentar apa-apa sambil menenggak segelas air putih. Dengan agak sedikit tersenyum cerah, aku mencoba mengalihkan topik. “Eh, ma. Angga ada oleh-oleh buat mama dari Surabaya.”
“Oleh-oleh apa?”
“Ada deh… mama ambil gih di meja kamar, ada di kresek item oleh-olehnya.”
“ya udah, gampang lah ntar aja.”
“Sekarang aja, ma ambilnya. Angga pengen dibuka dan dibawa kesini.”
Lalu dengan sedikit ragu ibu pergi ke kamar. Kulihat ia semakin menjauh dan masuk ke dalam kamar.
Selang beberapa menit kudengar suara t eriakan khas ibu sambil keluar kamar dengan berlari kecil menghampiriku. Akhirnya kulihat senyuman itu di wajah ibu. Kusambut hadirnya dengan pelukan hangat. Dengan masih memeluknya erat-erat, kubisikkan beberapa potong kata dengan isak tangis dan suara yang terbata-bata,
“Ma… Maaf, Angga belum bisa banyak membantu mama. Cuma ini yang bisa Angga persembahkan untuk mama. Ga ada lagi yg bisa lakukan untuk bisa membuat mama tersenyum. Angga berharap beban mama bisa berkurang dan mama bisa lebih tegar lagi menjalani hidup. Angga sayang mama…”Entah karena terlalu sedih dan terharu atau karena hal lain, aku tak sanggup mengingat dengan jelas apa yang ibu sampaikan padaku. Satu hal yang saat itu kuingat hanyalah air matanya yang meleleh dan membasahi pundakku. Rasa lega dan bahagia melebur dalam hatiku saat itu. Meski aku paham bahwa apa yang telah kulakukan selama ini takkan pernah mampu mengimbangi apa yang telah ibu berikan padaku, tapi aku cukup puas melihat senyuman itu hadir lagi pada dirinya. Maklum, semenjak kepergian ayah tiriku ibu harus hidup sendiri. Tak ada yang menemani selain diriku.
Alhamdulillah ya Rahman… Engkau izinkan aku untuk menjadi perantara dalam membawa kebahagiaan bagi ibuku. Engkau perkenankan aku untuk menjadi alasan bagi dirinya untuk tetap tersenyum dan menjalani kehidupan dengan lebih tegar.
Sejak saat itu, tekadku untuk terus menerus memberikan sesuatu ke Ibu dan membuatnya tersenyum bahagia kian hari kian menguat. Ini baru langkah awal bagiku untuk mewujudkan rasa baktiku pada ibu. Selanjutnya masih ada banyak hal yang menanti untuk diselesaikan, dan membawa tawa bahagia itu kembali menghiasi kehidupan beliau.
“I’ll do all what I can do to make you happy, mom!”
1 komentar:
Bagusssss bangeeett ... Suka bangeeett ... :) surga di telapak kaki ibu , semangaat ..
Posting Komentar