Selasa, 14 Juni 2011

MERAJUT MIMPI, MEMBANGUN ASA, MENGGAPAI CITA (Part 5)

PROYEK SELANJUTNYA: MEDSPIN 2006.
Sejak kemenangan di lomba sebelumnya, aku mulai merasa semakin tertantang dan ketagihan untuk mengikuti lomba-lomba untuk siswa SMA dari berbagai tingkat khususnya dalam bidang karya ilmiah, lomba kompetisi IPA dan olimpiade kimia. Selain karena hadiah yang diberikan dapat kugunakan untuk membantu ibu membayar uang sekolah dan uang sakuku, adanya lomba-lomba itu membuatku belajar lebih banyak.

Setelah pengalaman pertama menjuarai lomba karya tulis ilmiah di singaraja pada tahun 2004, aku, bagonk dan beberapa anggota tim baru seperti Ketut Adi Suryana, Wira Wahyu Mahendra dan Anggara Diva mencoba berpartisipasi dalam ajang kompetisi Lomba Karya Tulis Ilmiah dan Lomba Penelitian Ilmiah Remaja pada taraf kotamadya dan provinsi. Alhamdulillah, dari perlombaan-perlombaan yang diikuti itu aku dan tim berhasil menyabet predikat juara pada 2 perlombaan saja.

Penghargaan berupa sejumlah uang tabungan telah kusimpan dan sebagian kugunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagian sisanya kutabung. Ibu masih tidak mengizinkanku menggunakan uang itu untuk membiayai kuliah. Ia menyatakan bahwa biaya sekolah merupakan tanggung jawab ibu. Paham dengan hal itu, aku pun menuruti nasehat beliau.

Merasa cukup puas ‘bermain’ pada tingkat lokal dan provinsi, aku mencoba untuk merambah tingkat yang lebih tinggi. Aku ingin skala regional atau nasional! Hadiahnya pasti lebih besar dan tantangannya pasti lebih mantap!
Ibarat gayung bersambut, harapanku  terwujud. Beberapa waktu setelahnya, salah seorang guru pembimbingku di Klub Kimia SMA N 4 Denpasar memberikan angin segar. Beliau menyampaikan padaku bahwa ada lomba IPA Kedokteran yang akan diadakan oleh Fakultas kedokteran UNAIR. Dengar punya dengar, jika bisa mendapatkan juara 1 pada ajang kompetisi ini akan mendapatkan rekomendasi yang kuat untuk melanjutkan pendidikan di FK UNAIR PLUS hadiah yang menakjubkan. Setelah ku cek di website resmi panitia MEDSPIN (Medical Science Application Compettion), juara 1 akan mendapatkan trophy bergilir MENDIKNAS, piagam penghargaan, trophy Juara 1 dan tabungan pendidikan sebesar Rp 3.000.000. Fantastis! Ini dia yang kucari!

Tanpa ba-bi-bu, aku menerima tawaran dari guruku (Bu Pudji Astuti) dan membentuk tim bersama Nyoman Giri Putra (Giri) dan Gede Suryana (Suryana). Giri membidangi biologi, Suryana membidangi matematika dan fisika sementara aku membidangi Kimia. Sebuah komposisi tim IPA yang lengkap. Setelah meminta izin kepada kepala sekolah, kami pun menjalani proses pembinaan selama 2 pekan untuk menghadapi tes seleksi regional pertama. Dalam tes ini, seluruh tim dari Bali akan diseleksi. Nilai seluruh peserta dari berbagai regional seperti Jakarta, Jawa Barat, Jogja, Jawa Tengah, jawa timur, Bali, NTB dan NTT diranking menjadi. Jumlah tim yang lolos ke babak semifinal hanya 10 tim. Dan ternyata dari sekian ratus tim yang mengikuti ajang ini, timku mendapatkan peringkat 13. Betapa sedih dan kecewa rasanya hati ini. Aku sempat frustasi. Sebab selama 2 pekan ini begitu banyak yang telah kukorbankan untuk mempersiapkan seleksi tahap 1. Namun ternyata angin segar berhembus ke telinga kami. Bahwa ternyata panitia melakukan kesalahan dalam perhitungan. Setelah dihitung ulang, ternyata tim kami memasuki kualifikasi untuk melaju ke babak berikutnya.  Surabaya, we’ll come! “Piala MENDIKNAS, siap-siap kami jemput ya!” tekadku dalam hati.

Setelah melewati proses pembinaan kurang lebih 1 pekan, akhirnya kami siap berangkat ke Surabaya. Dari 10 tim yang lolos ke babak semifinal akan diambil 6 tim terbaik. 10 tim ini akan beradu laga dalam babak Fun Racing. Setiap tim diharuskan berlomba-lomba mengunjungi beberapa pos yang ada di kampus FK UNAIR, Surabaya dan menjawab soal yang tertera pada pos-pos tersebut.

Selama berada di lokasi lomba pada saat survey lokasi, tak henti-hentinya aku merasa cemas dan minder dengan peserta dari tim lainnya. Dari wajah dan penampakan mereka, sepertinya mereka orang yang sangat cerdas dan menguasai betul bidang masing-masing. Di penginapan kulihat sebagian besar mereka sedang membaca. Ada yang membaca Campbell, ada yg membawa kamus kedokteran dan sebagainya. “Ah, ini gila!” batinku. Jaket yang mereka kenakan membuatku semakin ketar-ketir. Ada yang bertuliskan “DELAPAN”. “Ah, ini sih pasti anak SMAN 8 Jakarta yang terkenal canggih se-Indonesia itu!” Ada pula yang tidak menggunakan jaket, tapi kulihat dari emblem nya tertulis “SMAK Petra V Surabaya.” “Walah! Yang ini juga sepaket. Jagoan dari Surabaya.” Belum lagi ada anak Singaraja yang selalu menjadi rivalku dalam bidang kimia, Gung Ary. Dia anak SMAN 1 Singaraja yang menduduki peringkat 1 pada saat ajang olimpiade Sains Kota singaraja. “Wow! Ini sih saingannya supertim semua!” kataku kepada suryana. Kemudian ia menimpaliku seadanya dan menjawab, “Udah, santé aja!”. Sepertinya ia lebih tenang dan PD dibandingkan diriku. Ah, ya sudah. Biar lawannya sepintar apa, jika Tuhan berkehendak mereka pasti bisa kami taklukkan. Satu pesan dari ibuku yang hingga saat ini terngiang yang membuatku selalu tampak PD adalah, “Ingat! Lawan utama Angga itu soal dan diri Angga sendiri. Bukan yang lain! Mereka itu cuma saingan aja. Jadi fokus pada soal!”. “Yosh! Aku siap melakukan yang terbaik di babak semifinal ini!” jeritku dalam hati semalam sebelum lomba.

Dengan penuh semangat timku berlari dari 1 pos ke pos lainnya untuk mendapatkan soal dan menjawab setiap soal yang diberikan. Benar-benar benar-benar sensasinya. Pada babak ini kemampuan fisik dan intelegensi tim diuji. Betapa tidak? Para pserta dipaksa untuk menguras energy dengan cara berlomba-lomba lari kesana kemari, setibanya di pos dengan kondisi terengah-engah kami dipaksa berpikir menyelesaikan soal yang ada. Dan soal yang diberikan pun levelnya sebanding dengan soal olimpiade yang membuat dahi jadi keriting. Antara memikirkan haus dan soal. Sebuah pilihan yang sulit bagiku saat itu. Meskipun demikian, seluruh tenaga kami kuras sebisa mungkin. Kami sudah bertekad akan membawa pulang piala dari MENDIKNAS itu! Jangan sampai nanti kami menyesal tidak menggunakan segala potensi dan peluang yang kami miliki tidak digunakan secara maksimal.

Akhirnya saat pengumuman peserta yang lolos ke babak final tiba. Di ruang auditorium FK UNAIR yang megah itu kami dikumpulkan. Penyuasanaan yang diatur oleh panitia MEDSPIN 2006 benar-benar sukses menghipnotis kami dan mebuat jantung para peserta dag-dig-dug kembang kuncup tak beraturan. Berdisko kesana kemari tak karuan. Seketika wajah cemas kami berubah menjadi wajah kegirangan saat kami melihat pengumuman bahwa tim kami termasuk 6 terbaik dari tim-tim yang lolos ke babak semifinal. Seperti dugaan awal, beberapa nama tim yang kutakuti di awal pertemuan lolos ke babak final. Seperti tim dari SMA V PETRA Surabaya, dan tim dari Singaraja (Tim yang beranggotakan Gung Ary, rival berat). Beberapa tim yang kuanggap hebat seperti tim dari Delapan ternyata harus cukup puas dengan peringkat yang disandangnya. Mereka tidak berhasil maju ke babak final.

Oke! Perjuangan belum berakhir! Ini saatnya aku melakukan yang lebih baik dari sebelumnya. Beberapa soal yang tak terjawab tak boleh terjadi lagi dalam babak ini.  Tekadku, setiap soal kimia yang dilontarkan harus berhasil kujawab tanpa kesalahan. Sebab ini adalah kerja tim! Kami sudah sepakat, setiap soal biologi akan dijawab oleh giri, setiap soal fisika dikerjakan oleh suryana, setiap soal kimia dikerjakan olehku dan soal matematika harus kami semua yang kerjakan (dengan harapan besar terletak pada suryana, sebab ia yang paling mahir dibandingkan aku dan giri yang lemah dalam hal matematika :p).

Babak final terbagi menjadi 3 ronde. Ronde 1 dan 2 digunakan untuk mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya. Sedangkan pada ronde penentuan, ronde 3, adalah babak pertaruhan nilai. Pada saat ronde 3, tim kami bukan tim yang memiliki nilai tertinggi. Tim kami berada pada peringkat ke tiga. Tim kami serigkali lebih lola soal hitungan matematika. Kebanyakan soal matematika dan fisika disikat habis oleh tim dari SMA V PETRA. Aku rasa hal ini sebuah kelebihan yang dimiliki oleh rival berat kami. Memang kebanyakan orang china pandai sekali berhitung. Tim kami hanya agak unggul di bidang biologi dan kimia saja.

Di ronde 3 ini, panitia memberikan satu pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap tim. Setelah dibacakan soal final, setiap tim diizinkan untuk mempertaruhkan sebagian atau seluruh nilai yang dimiliki. Dengan segenap keyakinan, kami mempertaruhkan semua nilai yang kami miliki. Kebetulan saat itu soalnya soal biologi. Kami pasrahkan semuanya pada giri. Awalnya ia ragu dengan jawabannya, namun kemudian di akhir-akhir tahap analisis dalam otaknya, ia menjadi sangat yakin.Dari hasil perhitungan yang ditampilkan dan hasil kalkulasi jika jawaban kami benar maka kami adalah pemenang babak ini.  Sedangkan jika jawaban kami salah, maka bisa dipastikan kami bukanlah pemenang dari kejuaraan ini.

Jantungku rasanya hampir copot menunggu panitia mengumumkan jawaban yang benar dari pertanyaan itu. Wajah kami bertiga tertunduk. Genggaman tangan giri dan suryana terasa menguat seiring berjalannya waktu. Kami tegang! Kami gugup, dan kami pasrah! Saat itu hanya satu bayangan yang tampak dalam benakku: ibu! Masih segar dalam ingatanku, saat penantian itu yang terbayang adalah semua alasan mengapa aku berjuang dan berupaya segigih ini, dan jawabannya hanya satu kata: ibu! Ibu dan ibu! Aku ingin membuat ibu tersenyum bahagia ketika aku pulang membawa sebuah oleh-oleh berupa piala MENDIKNAS, trophy juara I dan piagam. Aku ingin mempersembahkan sesuatu untuknya yang akhir-akhir itu kulihat jarang tersenyum. Aku ingin membalas secuil kebaikan ibu dengan prestasi ini. Aku ingin mengurangi beban dan deritanya selama ini dengan pencapaianku nanti. Lamunanku terbang ke sebuah kontrakan di Bali, tempat ibuku tinggal. Anganku melayang-layang pada sebuah bayangan jika aku berhasil  mempersembahkan trophy ini untuk beliau. Tiba-tiba nuraniku berbisik  lirih, “Ya Allah… izinkanlah aku membahagiakan ibu, izinkanlah aku untuk mengurai senyum di wajahnya dengan sebuah pencapaian.”

Tiba-tiba lamunanku buyar dan wajahku tersentak ketika kudengar jawaban tim kami adalah jawaban yang benar. Dengan tak sadarkan diri aku hentakkan kedua tanganku diatas meja yang berdiri kokoh di hadapan kami sambil berteriak lepas. Kulihat wajah giri dan suryana yang juga tiba-tiba sumingrah setelah sebelumnya kusut dan pucat pasi. Kurangkul mereka berdua dengan bangga, khususnya giri yang telah menjadi pahlawan akhir bagi tim kami. “Alhamdulillah… Alhamdulillah… Alhamdulillahirabbil alaamiin.” Syukurku pada Illahi rabbi tak henti-henti.

Suara sorak sorai itu mereda dalam beberapa menit kemudian dan dilanjutkan dengan narasi yang dibawakan oleh pembawa acara. “Dengan ini perolehan hasil terakhir dimenangkan oleh SMA N 4 Denpasar sebagai juara 1 dengan anggota tim Nyoman Giri Putra, Anggayudha Ananda Rasa dan Gede Suryana.” Suasana auditorium FK UNAIR riuh ramai saat itu, menandakan bahwa acara akan berakhir.

Tiba-tiba auditorium menjadi semakin remang-remang dan suara riuh ramai audiens semakin surut. Tiba-tiba terlantun suara merdu dari speaker yang menggantung di stiap sudut ruangan diiringi alunan melodi piano yang nadanya tak asing di telingaku. Ya, benar! Ini lagu berjudul ‘bunda’ yang dilantukan oleh Melly Goeslaw. Sebuah lagu dengan lirik yang begitu menyentuh hati setiap insan yang mencintai ibunya. Sebuah lagu yang mencerminkan kondisi diriku saat itu. Tak terasa, dalam gelapnya ruangan air mataku meleleh, mengalir lentik menyusuri setiap jengkal wajahku.

Berakhirnya lantunan piano menandakan acara telah beralih ke acara penghargaan. Tim kami dipanggil untuk menerima piala dari MENDIKNAS. Piala setinggi dada itu kuangkat berdua bersama giri dengan wajah sumingrah. Sementara suryana memegang trophy juara 1. Akhirnya! Kudapatkan jua piala itu. Akhirnya kuraih juga keberhasilan itu! Kugenapi sudah janjiku! Dengan perasaan haru, bahagia dan penuh syukur akhirnya  kami kembali ke tempat singgah untuk segera melanjutkan perjalanan pulang ke Bali.


“Aku akan pulang membawa persembahan kecil ini. Ga sabar ingin liat senyum bahagia di wajah mu, ibu. Tunggu aku!”

0 komentar: