KEHIDUPAN DI BALI: AWAL MULA JATUH-BANGUN
Singkat cerita aku, kakakku dan ibuku pindah ke Denpasar pada akhir tahun 1997 saat aku menginjak bangku kelas 3 SD. Berkat pertolongan Allah akhirnya ibu mendapatkan pekerjaan yang lebih layak di sebuah kantor penyimpanan dan pengolahan ikan Tuna di Benoa sebagai seorang karyawan di bagian penyimpanan. Sementara ayah tiriku bekerja di sebuah kapal penangkap ikan tuna.
Melalui rezeki yang diberikan itu aku dan kakakku berhasil menyelesaikan jenjang SD dengan baik. Aku sempat menjadi peraih NEM tertinggi disekolahku saat itu. Meskipun hanya peringkat ke-6, tapi rasanya sangat memuaskan bisa memberikan yang terbaik. Selama masa-masa itu kehidupan kami terasa sangat mudah. Pekerjaan sampingan membuka usaha catering kecil-kecilan memang menjadi sebuah jalan kemudahan bagi kami hingga kami lulus SMP.
Semua itu berjalan dengan sangat membahagiakan hingga pada akhirnya keadaan menjadi kian memburuk saat aku mulai meninggalkan bangku kelas 1 SMA. Perusahaan tempat ibu bekerja gulung tikar akibat isu internal. Sementara itu penyakit Diabetes mellitus (baca: kencing manis) yang sudah menggerogoti ayah sejak aku SMP mulai mengganas. Ayah mulai sakit-sakitan hingga akhirnya ia tak bisa melanjutkan lagi pelayaran bersama rekan-rekannya untuk mencari ikan. Otomatis suplai finansial keluarga menjadi berkurang drastis. Belum lagi biaya kontrakan yang melambung, biaya pendidikan yang meningkat pesat baik di sekolahku maupun ditempat kakakku bersekolah. Sedangkan kebutuhan finansial kami hanya didukung oleh usaha catering kecil-kecilan milik ibu.
Setiap pekan sekali ayah harus pergi berobat ke dokter dan dibutuhkan biaya yang tidak murah. Sekali kunjungan saja bisa menghabiskan uang Rp 150.000,00. Belum lagi obat yang harus ditebus rata-rata seharga 200 ribu setiap kali ambil resep. Biaya pendidikan di sekolahku Rp 350 ribu sebulan. Belum lagi kebutuhan hidup kakak di kota tegal sana yang paling tidak membutuhkan sekitar 900 ribu setiap bulannya. Sementara penghasilan ibu dari catering tidaklah banyak dan tak dapat menutupi seluruh kebutuhan keluarga.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut akhirnya kami menjual aset-aset pribadi yang dimiliki. TeleVisi, sepeda motor, kulkas dan segala yang dinilai berharga kami jual kecuali seperangkat komputer Pentium III yang sudah mulai ketinggalan jaman saat itu. Kata ibu yang diprioritaskan hanya 2 hal saat itu : kesembuhan ayah dan pendidikan kami, putra-putranya. Saat itu roda kehidupan kami kembali berada di titik bawah. Terpaksa kami harus hidup dengan lebih hemat agar kami dapat tetap bertahan dalam keadaan ini.
Aku iba melihat ibu harus menanggung semua derita ini. Ibu harus bekerja hingga larut malam hingga pukul 11. Setiap hari ibu berangkat bekerja bersama rekannya pukul 9 pagi dan harus kujemput antara pukul 10 hingga 11 malam. Ia rela bekerja paruh waktu diluar bekerja utama untuk menambah pemasukan keluarga. Agar ayah tetap dapat berobat, agar kami tetap dapat bersekolah..
Saat itu aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Aku hanyalah seorang anak remaja SMA yang sedang labil. Yang dapat kulakukan saat itu hanya mencoba menerima kenyataan pahit dengan pura-pura tegar. Yang dapat kuperbuat hanyalah menjalankan apa yang ibu anjurkan. Yang aku lakukan hanyalah diam dan tak berdaya. Aku malu atas diriku sendiri!
0 komentar:
Posting Komentar