Selasa, 20 November 2012

Menulis, menginspirasi dunia dengan kata


Alhamdulillah…. Akhirnya (mau) dan bisa posting lagi di blog setelah setaun lebih ga nge-blog. Terus terang keinginan untuk melanjutkan tulisan-tulisan terdahulu itu muncul gara-gara ketemu sama bunda helvy tiana rose di acara Forum Indonesia Muda akhir oktober lalu dan habis baca bukunya mbak Sofie Beatrix yang judulnya “Kitab Writerpreneur. Jangan (TAKUT) jadi penulis!” pagi ini.

Rasanya darah penulis dari ibu yang mengalir dalam tubuh saya ini mulai bergejolak dan mulai meronta-ronta meminta saya menekan tuts-tuts mungil di laptop untuk menuangkan gagasan-gagasan yang muncul dalam benak saya. Keinginan ini diperkuat juga dengan komentar beberapa teman yang meminta saya menuliskan pembelajaran-pembelajaran yang saya dapatkan dalam bentuk sebuah tulisan lengkap. Mungkin mereka merasa gerah dengan tulisan yang saya sampaikan sepotong-sepotong melalui kultwit di akun twitter saya.

Adanya pesan-pesan itu membuat keinginan saya untuk berbagi dari hari ke hari semakin kuat dan membangkitkan lagi salah satu impian saya yang entah sejak kapan terkubur dan terpendam: menjadi jalan inspirasi bagi kehidupan banyak orang. Saya masih ingat betul. Poin ke 73 dalam daftar impian saya adalah menjadi jalan inspirasi bagi kehidupan melalui deretan tulisan yang lahir dari perjalanan kehidupan banyak orang.

Rangkaian kejadian selama 1 tahun terakhir membuat saya semakin berdosa dan merasa menjadi seorang yang munafik. Saya punya impian pengen menginspirasi orang melalui buku, tapi…. Ko ga pernah nulis?Mana mungkin bukunya klo ga pernah nulis?? Masih terngiang di kepala saya pesan bunda helvy, penulis inspirasional yang sejak usia 6 tahun sudah terbiasa dengan dunia baca-tulis, “Hidupmu adalah sejarah, dan karyamu yang aan mempertahankannya!”. Dan tulisan adalah salah satu bukti sejarah bahwa kita memang pernah ada di dunia ini, dengan seluk beluk gagasan dan pengalaman kehidupan yang kita dapatkan.

Hati saya semakin tergerak saat membaca tulisan Novilia Lutfiatul, seorang mahasiswi yang menjadi korban kecelakaan maut di jawa tengah dua pekan lalu yang ternyata juga seorang blogger (penulis). Ia meninggalkan sebuah karya terakhir dalam tulisannya yang berjudul “Dosen Tak Bernyawa” beberapa saat sebelum tragedi naas itu menimpa dirinya. Dalam tulisan itu ia menceritakan tentang datangnya ajal yang tak pernah diduga, tentang kematian yang pasti datang namun tak pernah tau kapan kan disangka.  Lalu kemudian peristiwa itu tiba. Ia mengingatkan kita tentang makna sebuah kematian. Ia menginspirasi manusia untuk siap menghadapi ajal kapanpun ia kan datang. Itu adalah karyanya, itu adalah jejak kehidupannya.

Belum lagi Tetsuko kuroyonagi yang telah menginspirasi jutaan manusia di seluruh belahan dunia tentang sistem pendidikan bagi anak-anak melalui karyanya, “Totto-chan, The little girl at the window.” Yang saat ini telah menjadi buku international best seller . Tidak hanya itu, sejak diterbitkannya buku itu hingga saat ini sudah ada banyak kebijakan tentang pendidikan yang diubah di berbagai negara hanya karena terinspirasi oleh kisah Totto-chan yang memiliki rasa keingintahuan yang begitu tinggi.
Saya jadi berpikir, bahwa suatu tulisan bukan hanya sekedar deretan kata tak bermakna yang tak bisa membuat perubahan apa-apa. Justru tulisan adalah salah satu cara paling ampuh untuk mengubah dunia. Mengubah dunia hingga memiliki sebuah pemikiran, sebuah gagasan yang kita anut.

Itu sebabnya saat ini saya jadi termotivasi kembali  untuk kembali menulis dan mengasah lagi kemampuan saya dalam merangkai kata dan menjadikannya kalimat-kalimat penuh makna. Dan berharap suatu saat nanti huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat dan paragraf demi paragraf yang saya susun menjadi sebuah rangkaian tulisan ini akan menjadi saksi di hari akhir kelak bahwa saya pernah hidup di dunia ini dengan membawa kebaikan-kebaikan yang akan mengantarkan saya dalam kehidupan di syurga. Aamiin.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

menulis seperti peluru,mampu menembus pikiran. wah mantap lah ka angga.