Pagi ini kuterhenyak oleh sebuah tembang yang dilantunkan oleh salah seorang penyanyi legendaris di indonesia : Ebiet G. Ade. Seorang penyanyi yang memulai karirnya diatas aspal, dipersimpangan jalan, dihadapan lampu merah. Yang memetik gitar usangnya diantara desingan klakson, dibawah terik mentari, diterpa debu-debu kota metropolitan.
Melalui alunan melodinya yang menggetarkan hati ia buatku semakin nista oleh ketidakberdayaanku sendiri di hadapan Tuhanku. Melalui liriknya yang begitu lugas, tajam dan mendalam, ia ingatkanku akan ketidakberdayaan kita sebagai seorang manusia didepan Tuhannya. Betapa kecil diri kita di mata-Nya. Betapa hina kita dipangkuan diri-Nya yang begitu suci, Maha Agung. Betapa rapuhnya diri kita....
Betapa kita tidak berdaya melawan kehendak-Nya.
Aku menjadi kian sadar, sebaik-baik apapun kurencanakan kehidupan ini, tetaplah IA yang mengambil keputusan apa yang layak untukku didunia ini. Jalan terbaik apa yang pantas untukku.
Betapa kusadari, serendah atau setinggi apapun cita dan harap yang kumiliki, semua tak akan terwujud jika ia tidak berkehendak. Semudah apapun hal itu, takkan dapat kulakukan jika IA tak mengizinkannya. Sesulit apapun kulakukan, bahkan semustahil apapun rasanya cita yang ingin kugapai, tentu takkan sulit baginya jika IA menghendaki. Semua ini telah IA atur dalam sebuah pentas sandiwara, dimana kita sebagai penulis naskah dan IA sebagai sutradaranya.
Tinggal bagaimana kita memohon petunjuk kepada-Nya, berdo’a, berusaha, dan menyerahkan kembali hasilnya kepada-Nya.
Aku jadi teringat akan sebuah perbincangan sore kemarin dengan salah seorang kakak senior di Himpunanku, AMISCA, yang telah menyelesaikan Program Magister (S-2) nya di Belanda. Aku banyak berdiskusi dengannya tentang kehidupan Pasca Kampus. Kehidupan setelah kelulusan program studi Sarjana di kampus gajah yang katanya hebat ini.
Setelah kupahami ternyata kehidupan pasca kampus tidaklah semudah yang dibayangkan. Begitu banyak hal menuntut kita untuk dapat hidup lebih mandiri, banyak hal yang memaksa kita untuk dapat berhenti bersikap kekanak-kanakan, bersikap manja dan tak mau bekerja keras. Ada terlalu banyak hal yang membuat kita harus berpikir dewasa.
Seperti contohnya, ketika kita akan memutuskan seusai diwisuda apa yang akan kita lakukan? Apakah kita hanya tinggal mengajukan lamaran pekerjaan, atau melanjutkan pendidikan. Jika mengajukan lamaran pekerjaan, mau diajukan ke perusahaan mana saja? Apa bidang keahlian kita? Selama menunggu panggilan pekerjaan, apa yang akan kita lakukan? Apa duduk dan diam saja dirumah dan membiarkan semuanya terjadi begitu saja? Atau ada hal lain yang kita lakukan. Jika Sampai 3 bulan tidak ada panggilan kerja juga, atau bahkan sampai 1 tahun lamanya tidak ada panggilan kerja, apa yang akan kita lakukan? Menjadi pengangguran dan tidak mengupayakan suatu hal?
Kalaupun misalnya ada yang memanggil kita bekerja di salah satu perusahaan, sedangkan bidang yang ditawarkan tidak sesuai dengan bidang kita atau kita merasa tidak pas dengan gajinya, apa kita akan menerima tawaran pekerjaan tersebut? Kalau kita terima, apa kita bisa nyaman dengan posisi seperti itu? Kalau tidak diterima, apa kita mau menunggu panggilan lainnya yang belum tentu kita dapatkan?
Ya, sederet pertanyaan-pertanyaan itu hanyalah sebagian kecil yang mungkin akan muncul ketika kita akan mengambil sebuah keputusan : ”Apa yang akan kita lakukan setelah Diwisuda nanti?”
Ketika kumencoba kembali merenungi, menimbang sebuah keputusan akan kubawa kemana perahu kecilku kubawa di samudra kehidupan ini, aku menjadi merasa semakin tak berdaya dihadapan-Nya. Aku dapat merencanakan semua itu dengan begitu matang, dengan begitu terperinci, hingga plot waktu dan targetan yang ingin kucapai.
Namun, kian hari aku kian menyadari tiadalah semua itu dapat terwujud ketika aku tak mampu menjalankan apa yang telah kurencanakan sedemikian rupa. Semua itu tak akan terjadi jika aku tak memohon petunjuk-Nya didalam mengambil keputusan. Semua itu tak akan berjalan sesuai dengan yang kuharapkan jika IA tidak mengizinkannya.
Aku menjadi tersadar kembali, bahwa kita hanyalah manusia biasa. Yang penuh dengan kekurangan, yang penuh dengan ambisi menggebu-gebu, yang penuh dengan keangkuhan akan kemampuan yang kita miliki.
Kita memang lemah
Kita memang tak berdaya di hadapan-Nya
Tak akan ada hal yang mampu kita lakukan
Tak akan ada hal yang dapat kita raih
Tanpa Izin dari-Nya
aku juga semakin tersadar,
meski manusia itu sedemikian lemah di hadapan Tuhannya,
Manusia diberikan kelebihan berupa akal untuk berpikir,
manusia diberikan kemampuan untuk berusaha,
berikhtiar semaksimal mungkin dengan segala daya upaya yang ia miliki
Ribuan buku di dunia ini telah mencatat jutaan sejarah yang diukir oleh orang-orang besar
Memahat kisah-kisah spektakuler yang tidak pernah kita kira akan terjadi
Semua itu memang terjadi karena upaya gigih yang dilakukan oleh tokoh-tokoh besar tersebut,
Namun jangan dilupakan, bahwa semua itu terjadi hanya atas kehendak-Nya
Aku menjadi semakin tersadar, bahwa seberapa keras kita berusaha
Serapi apapun kita merencakan,
Sehebat apapun kita mendewasakan diri kita
Apapun yang kita inginkan tidak akan tercapai
Jika kita tak mau mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Kehidupan
Jika kita enggan untuk memohon kepada-Nya untuk diberikan jalan terbaik dalam hidup
Karena kita hanyalah penulis naskah
Dan Tuhan adalah Sutradara
Dalam pangung sandiwara kehidupan ini
Ditulis dengan segenap harap dan kepasrahan kepada Allah, sang Pemiliki Kehidupan
Ruanganku, Hari ke 27
Minggu terakhir bulan desember
Di penghujung Tahun 2009
0 komentar:
Posting Komentar