Selasa, 14 Juni 2011

MERAJUT MIMPI, MEMBANGUN ASA, MENGGAPAI CITA (Part 6)

PERSEMBAHAN KECIL UNTUK IBU
Dalam perjalanan ke Bali, naluri ‘iseng’ ku keluar. Aku ingin membuat kejutan untuk ibu. Kususun strategi bersama giri. Aku berencana untuk pura-pura gagal dalam ajang kali ini. Untuk mendukung actingku itu, giri pun harus memiliki ekspresi yang serupa denganku. Ia pun setuju. Sesuai rencana, trophy yang berukuran kecil kubawa sementara piala dari MENDIKNAS langsung diungsikan ke sekolah dan disimpan di ruang piala.

Setibanya di rumah, aku pasang wajah lesu dan senyum yang seolah tampak dipaksakan sedangkan itu Giri hanya diam saja sambil mengeluarkan tas dari bagasi travel. Sesuai dugaanku, ibu menyambut kami dengan sebuah pertanyaan dan wajah yang agak sumingrah, “Gimana le lombanya?”. (le= panggilan untuk anak laki-laki di jawa. Berasal dari kata thole ). “Ya… gitu deh, ma.” Jawabku sambil menundukkan kepala. “Ga menang ya?” sahutnya kembali. Dengan agak sedikit menahan diri, aku mencoba untuk diam dan tetap bersikap lesu. Kulihat ibu menanyakan giri dengan bahasa isyarat. Sepertinya giri hanya mengangkat bahu, sesuai dengan ‘pesanan’ku sebelumnya, “Gir, kalo ibuku nanya apa-apa terkait lombanya jawab aja pake diam ato ga tau ya. Plis. Pengen buat kejutan.”
Aku langsung bergegas ke kamar dan meletakkan trophy juara 1 diatas meja kecil di kamar berukuran 2x3 dengan atap asbes itu.  Agar tak begitu terlihat, kututup trophy itu dengan kresek hitam. Kuselipkan secarik kertas yang telah kupersiapkan sebelumnya yang bertuliskan,

“Ma… Ini oleh-oleh untuk mama. Angga ingin mama bisa tersenyum lagi. Maaf belum bisa memberikan apa-apa untuk mama. Cuma ini yang bisa angga berikan.”
Setelah berganti baju, aku kembali keluar sambil tetap berharap Giri tidak membocorkan apapun terkait dengan kemenangan kami di MEDSPIN. Jika sampai demikian, kacau sudah semua rencanaku.

Masih dengan setelan gaya lesu, aku mendekati ibu dan duduk disebelahnya. “Lapar ya? Ntar dimasakin nasi goreng dulu ya?” tawarnya kepada kami. Melihat kondisi itu sebenarnya aku tak tega meneruskan sandiwara ini. Perbincangan kami bertiga berlanjut saat sarapan. Seperti dugaanku, ibu menanyakan tentang bagaimana lomba kemarin. Aku dan giri saling melengkapi, memberikan jawaban yang terkesan mengambang dan normatif.

Di akhir sarapan, ibu memberikan nasehatnya kepada kami, “Ya sudah, yang penting angga udah melakukan yang terbaik. Toh semuanya ga berakhir disini kan? Masih ada kesempatan-kesempatan lainnya. Kan masih ada Olimpiade kimia, Angga bisa berupaya lebih baik disana.” Mendengar nasehatnya itu, aku semakin iba untuk tetap menunda-nunda berita kemenangan kami. Giri hanya diam tak berkomentar apa-apa sambil menenggak segelas air putih. Dengan agak sedikit tersenyum cerah, aku mencoba mengalihkan topik. “Eh, ma. Angga ada oleh-oleh buat mama dari Surabaya.”
“Oleh-oleh apa?”
“Ada deh… mama ambil gih di meja kamar, ada di kresek item oleh-olehnya.”
“ya udah, gampang lah ntar aja.”
“Sekarang aja, ma ambilnya. Angga pengen dibuka dan dibawa kesini.”
Lalu dengan sedikit ragu ibu pergi ke kamar. Kulihat ia semakin menjauh dan masuk ke dalam kamar.

Selang beberapa menit kudengar suara t eriakan khas ibu sambil keluar kamar dengan berlari kecil menghampiriku. Akhirnya kulihat senyuman itu di wajah ibu. Kusambut hadirnya dengan pelukan hangat.  Dengan masih memeluknya erat-erat, kubisikkan beberapa potong kata dengan isak tangis dan suara yang terbata-bata,
“Ma… Maaf, Angga belum bisa banyak membantu mama. Cuma ini yang bisa Angga persembahkan untuk mama. Ga ada lagi yg bisa lakukan untuk bisa membuat mama tersenyum. Angga berharap beban mama bisa berkurang dan mama bisa lebih tegar lagi menjalani hidup. Angga sayang mama…”
Entah karena terlalu sedih dan terharu atau karena hal lain, aku tak sanggup mengingat dengan jelas apa yang ibu sampaikan padaku. Satu hal yang saat itu kuingat hanyalah air matanya yang meleleh dan membasahi pundakku. Rasa lega dan bahagia melebur dalam hatiku saat itu. Meski aku paham bahwa apa yang telah kulakukan selama ini takkan pernah mampu mengimbangi apa yang telah ibu berikan padaku, tapi aku cukup puas melihat senyuman itu hadir lagi pada dirinya. Maklum, semenjak kepergian ayah tiriku ibu harus hidup sendiri. Tak ada yang menemani selain diriku.

Alhamdulillah ya Rahman… Engkau izinkan aku untuk menjadi perantara dalam membawa kebahagiaan bagi ibuku. Engkau perkenankan aku untuk menjadi alasan bagi dirinya untuk tetap tersenyum dan menjalani kehidupan dengan lebih tegar.
Sejak saat itu, tekadku untuk terus menerus memberikan sesuatu ke Ibu dan membuatnya tersenyum bahagia kian hari kian menguat. Ini baru langkah awal bagiku untuk mewujudkan rasa baktiku pada ibu. Selanjutnya masih ada banyak hal yang menanti untuk diselesaikan, dan membawa tawa bahagia itu kembali menghiasi kehidupan beliau.
“I’ll do all what I can do to make you happy, mom!”

MERAJUT MIMPI, MEMBANGUN ASA, MENGGAPAI CITA (Part 5)

PROYEK SELANJUTNYA: MEDSPIN 2006.
Sejak kemenangan di lomba sebelumnya, aku mulai merasa semakin tertantang dan ketagihan untuk mengikuti lomba-lomba untuk siswa SMA dari berbagai tingkat khususnya dalam bidang karya ilmiah, lomba kompetisi IPA dan olimpiade kimia. Selain karena hadiah yang diberikan dapat kugunakan untuk membantu ibu membayar uang sekolah dan uang sakuku, adanya lomba-lomba itu membuatku belajar lebih banyak.

Setelah pengalaman pertama menjuarai lomba karya tulis ilmiah di singaraja pada tahun 2004, aku, bagonk dan beberapa anggota tim baru seperti Ketut Adi Suryana, Wira Wahyu Mahendra dan Anggara Diva mencoba berpartisipasi dalam ajang kompetisi Lomba Karya Tulis Ilmiah dan Lomba Penelitian Ilmiah Remaja pada taraf kotamadya dan provinsi. Alhamdulillah, dari perlombaan-perlombaan yang diikuti itu aku dan tim berhasil menyabet predikat juara pada 2 perlombaan saja.

Penghargaan berupa sejumlah uang tabungan telah kusimpan dan sebagian kugunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagian sisanya kutabung. Ibu masih tidak mengizinkanku menggunakan uang itu untuk membiayai kuliah. Ia menyatakan bahwa biaya sekolah merupakan tanggung jawab ibu. Paham dengan hal itu, aku pun menuruti nasehat beliau.

Merasa cukup puas ‘bermain’ pada tingkat lokal dan provinsi, aku mencoba untuk merambah tingkat yang lebih tinggi. Aku ingin skala regional atau nasional! Hadiahnya pasti lebih besar dan tantangannya pasti lebih mantap!
Ibarat gayung bersambut, harapanku  terwujud. Beberapa waktu setelahnya, salah seorang guru pembimbingku di Klub Kimia SMA N 4 Denpasar memberikan angin segar. Beliau menyampaikan padaku bahwa ada lomba IPA Kedokteran yang akan diadakan oleh Fakultas kedokteran UNAIR. Dengar punya dengar, jika bisa mendapatkan juara 1 pada ajang kompetisi ini akan mendapatkan rekomendasi yang kuat untuk melanjutkan pendidikan di FK UNAIR PLUS hadiah yang menakjubkan. Setelah ku cek di website resmi panitia MEDSPIN (Medical Science Application Compettion), juara 1 akan mendapatkan trophy bergilir MENDIKNAS, piagam penghargaan, trophy Juara 1 dan tabungan pendidikan sebesar Rp 3.000.000. Fantastis! Ini dia yang kucari!

Tanpa ba-bi-bu, aku menerima tawaran dari guruku (Bu Pudji Astuti) dan membentuk tim bersama Nyoman Giri Putra (Giri) dan Gede Suryana (Suryana). Giri membidangi biologi, Suryana membidangi matematika dan fisika sementara aku membidangi Kimia. Sebuah komposisi tim IPA yang lengkap. Setelah meminta izin kepada kepala sekolah, kami pun menjalani proses pembinaan selama 2 pekan untuk menghadapi tes seleksi regional pertama. Dalam tes ini, seluruh tim dari Bali akan diseleksi. Nilai seluruh peserta dari berbagai regional seperti Jakarta, Jawa Barat, Jogja, Jawa Tengah, jawa timur, Bali, NTB dan NTT diranking menjadi. Jumlah tim yang lolos ke babak semifinal hanya 10 tim. Dan ternyata dari sekian ratus tim yang mengikuti ajang ini, timku mendapatkan peringkat 13. Betapa sedih dan kecewa rasanya hati ini. Aku sempat frustasi. Sebab selama 2 pekan ini begitu banyak yang telah kukorbankan untuk mempersiapkan seleksi tahap 1. Namun ternyata angin segar berhembus ke telinga kami. Bahwa ternyata panitia melakukan kesalahan dalam perhitungan. Setelah dihitung ulang, ternyata tim kami memasuki kualifikasi untuk melaju ke babak berikutnya.  Surabaya, we’ll come! “Piala MENDIKNAS, siap-siap kami jemput ya!” tekadku dalam hati.

Setelah melewati proses pembinaan kurang lebih 1 pekan, akhirnya kami siap berangkat ke Surabaya. Dari 10 tim yang lolos ke babak semifinal akan diambil 6 tim terbaik. 10 tim ini akan beradu laga dalam babak Fun Racing. Setiap tim diharuskan berlomba-lomba mengunjungi beberapa pos yang ada di kampus FK UNAIR, Surabaya dan menjawab soal yang tertera pada pos-pos tersebut.

Selama berada di lokasi lomba pada saat survey lokasi, tak henti-hentinya aku merasa cemas dan minder dengan peserta dari tim lainnya. Dari wajah dan penampakan mereka, sepertinya mereka orang yang sangat cerdas dan menguasai betul bidang masing-masing. Di penginapan kulihat sebagian besar mereka sedang membaca. Ada yang membaca Campbell, ada yg membawa kamus kedokteran dan sebagainya. “Ah, ini gila!” batinku. Jaket yang mereka kenakan membuatku semakin ketar-ketir. Ada yang bertuliskan “DELAPAN”. “Ah, ini sih pasti anak SMAN 8 Jakarta yang terkenal canggih se-Indonesia itu!” Ada pula yang tidak menggunakan jaket, tapi kulihat dari emblem nya tertulis “SMAK Petra V Surabaya.” “Walah! Yang ini juga sepaket. Jagoan dari Surabaya.” Belum lagi ada anak Singaraja yang selalu menjadi rivalku dalam bidang kimia, Gung Ary. Dia anak SMAN 1 Singaraja yang menduduki peringkat 1 pada saat ajang olimpiade Sains Kota singaraja. “Wow! Ini sih saingannya supertim semua!” kataku kepada suryana. Kemudian ia menimpaliku seadanya dan menjawab, “Udah, santé aja!”. Sepertinya ia lebih tenang dan PD dibandingkan diriku. Ah, ya sudah. Biar lawannya sepintar apa, jika Tuhan berkehendak mereka pasti bisa kami taklukkan. Satu pesan dari ibuku yang hingga saat ini terngiang yang membuatku selalu tampak PD adalah, “Ingat! Lawan utama Angga itu soal dan diri Angga sendiri. Bukan yang lain! Mereka itu cuma saingan aja. Jadi fokus pada soal!”. “Yosh! Aku siap melakukan yang terbaik di babak semifinal ini!” jeritku dalam hati semalam sebelum lomba.

Dengan penuh semangat timku berlari dari 1 pos ke pos lainnya untuk mendapatkan soal dan menjawab setiap soal yang diberikan. Benar-benar benar-benar sensasinya. Pada babak ini kemampuan fisik dan intelegensi tim diuji. Betapa tidak? Para pserta dipaksa untuk menguras energy dengan cara berlomba-lomba lari kesana kemari, setibanya di pos dengan kondisi terengah-engah kami dipaksa berpikir menyelesaikan soal yang ada. Dan soal yang diberikan pun levelnya sebanding dengan soal olimpiade yang membuat dahi jadi keriting. Antara memikirkan haus dan soal. Sebuah pilihan yang sulit bagiku saat itu. Meskipun demikian, seluruh tenaga kami kuras sebisa mungkin. Kami sudah bertekad akan membawa pulang piala dari MENDIKNAS itu! Jangan sampai nanti kami menyesal tidak menggunakan segala potensi dan peluang yang kami miliki tidak digunakan secara maksimal.

Akhirnya saat pengumuman peserta yang lolos ke babak final tiba. Di ruang auditorium FK UNAIR yang megah itu kami dikumpulkan. Penyuasanaan yang diatur oleh panitia MEDSPIN 2006 benar-benar sukses menghipnotis kami dan mebuat jantung para peserta dag-dig-dug kembang kuncup tak beraturan. Berdisko kesana kemari tak karuan. Seketika wajah cemas kami berubah menjadi wajah kegirangan saat kami melihat pengumuman bahwa tim kami termasuk 6 terbaik dari tim-tim yang lolos ke babak semifinal. Seperti dugaan awal, beberapa nama tim yang kutakuti di awal pertemuan lolos ke babak final. Seperti tim dari SMA V PETRA Surabaya, dan tim dari Singaraja (Tim yang beranggotakan Gung Ary, rival berat). Beberapa tim yang kuanggap hebat seperti tim dari Delapan ternyata harus cukup puas dengan peringkat yang disandangnya. Mereka tidak berhasil maju ke babak final.

Oke! Perjuangan belum berakhir! Ini saatnya aku melakukan yang lebih baik dari sebelumnya. Beberapa soal yang tak terjawab tak boleh terjadi lagi dalam babak ini.  Tekadku, setiap soal kimia yang dilontarkan harus berhasil kujawab tanpa kesalahan. Sebab ini adalah kerja tim! Kami sudah sepakat, setiap soal biologi akan dijawab oleh giri, setiap soal fisika dikerjakan oleh suryana, setiap soal kimia dikerjakan olehku dan soal matematika harus kami semua yang kerjakan (dengan harapan besar terletak pada suryana, sebab ia yang paling mahir dibandingkan aku dan giri yang lemah dalam hal matematika :p).

Babak final terbagi menjadi 3 ronde. Ronde 1 dan 2 digunakan untuk mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya. Sedangkan pada ronde penentuan, ronde 3, adalah babak pertaruhan nilai. Pada saat ronde 3, tim kami bukan tim yang memiliki nilai tertinggi. Tim kami berada pada peringkat ke tiga. Tim kami serigkali lebih lola soal hitungan matematika. Kebanyakan soal matematika dan fisika disikat habis oleh tim dari SMA V PETRA. Aku rasa hal ini sebuah kelebihan yang dimiliki oleh rival berat kami. Memang kebanyakan orang china pandai sekali berhitung. Tim kami hanya agak unggul di bidang biologi dan kimia saja.

Di ronde 3 ini, panitia memberikan satu pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap tim. Setelah dibacakan soal final, setiap tim diizinkan untuk mempertaruhkan sebagian atau seluruh nilai yang dimiliki. Dengan segenap keyakinan, kami mempertaruhkan semua nilai yang kami miliki. Kebetulan saat itu soalnya soal biologi. Kami pasrahkan semuanya pada giri. Awalnya ia ragu dengan jawabannya, namun kemudian di akhir-akhir tahap analisis dalam otaknya, ia menjadi sangat yakin.Dari hasil perhitungan yang ditampilkan dan hasil kalkulasi jika jawaban kami benar maka kami adalah pemenang babak ini.  Sedangkan jika jawaban kami salah, maka bisa dipastikan kami bukanlah pemenang dari kejuaraan ini.

Jantungku rasanya hampir copot menunggu panitia mengumumkan jawaban yang benar dari pertanyaan itu. Wajah kami bertiga tertunduk. Genggaman tangan giri dan suryana terasa menguat seiring berjalannya waktu. Kami tegang! Kami gugup, dan kami pasrah! Saat itu hanya satu bayangan yang tampak dalam benakku: ibu! Masih segar dalam ingatanku, saat penantian itu yang terbayang adalah semua alasan mengapa aku berjuang dan berupaya segigih ini, dan jawabannya hanya satu kata: ibu! Ibu dan ibu! Aku ingin membuat ibu tersenyum bahagia ketika aku pulang membawa sebuah oleh-oleh berupa piala MENDIKNAS, trophy juara I dan piagam. Aku ingin mempersembahkan sesuatu untuknya yang akhir-akhir itu kulihat jarang tersenyum. Aku ingin membalas secuil kebaikan ibu dengan prestasi ini. Aku ingin mengurangi beban dan deritanya selama ini dengan pencapaianku nanti. Lamunanku terbang ke sebuah kontrakan di Bali, tempat ibuku tinggal. Anganku melayang-layang pada sebuah bayangan jika aku berhasil  mempersembahkan trophy ini untuk beliau. Tiba-tiba nuraniku berbisik  lirih, “Ya Allah… izinkanlah aku membahagiakan ibu, izinkanlah aku untuk mengurai senyum di wajahnya dengan sebuah pencapaian.”

Tiba-tiba lamunanku buyar dan wajahku tersentak ketika kudengar jawaban tim kami adalah jawaban yang benar. Dengan tak sadarkan diri aku hentakkan kedua tanganku diatas meja yang berdiri kokoh di hadapan kami sambil berteriak lepas. Kulihat wajah giri dan suryana yang juga tiba-tiba sumingrah setelah sebelumnya kusut dan pucat pasi. Kurangkul mereka berdua dengan bangga, khususnya giri yang telah menjadi pahlawan akhir bagi tim kami. “Alhamdulillah… Alhamdulillah… Alhamdulillahirabbil alaamiin.” Syukurku pada Illahi rabbi tak henti-henti.

Suara sorak sorai itu mereda dalam beberapa menit kemudian dan dilanjutkan dengan narasi yang dibawakan oleh pembawa acara. “Dengan ini perolehan hasil terakhir dimenangkan oleh SMA N 4 Denpasar sebagai juara 1 dengan anggota tim Nyoman Giri Putra, Anggayudha Ananda Rasa dan Gede Suryana.” Suasana auditorium FK UNAIR riuh ramai saat itu, menandakan bahwa acara akan berakhir.

Tiba-tiba auditorium menjadi semakin remang-remang dan suara riuh ramai audiens semakin surut. Tiba-tiba terlantun suara merdu dari speaker yang menggantung di stiap sudut ruangan diiringi alunan melodi piano yang nadanya tak asing di telingaku. Ya, benar! Ini lagu berjudul ‘bunda’ yang dilantukan oleh Melly Goeslaw. Sebuah lagu dengan lirik yang begitu menyentuh hati setiap insan yang mencintai ibunya. Sebuah lagu yang mencerminkan kondisi diriku saat itu. Tak terasa, dalam gelapnya ruangan air mataku meleleh, mengalir lentik menyusuri setiap jengkal wajahku.

Berakhirnya lantunan piano menandakan acara telah beralih ke acara penghargaan. Tim kami dipanggil untuk menerima piala dari MENDIKNAS. Piala setinggi dada itu kuangkat berdua bersama giri dengan wajah sumingrah. Sementara suryana memegang trophy juara 1. Akhirnya! Kudapatkan jua piala itu. Akhirnya kuraih juga keberhasilan itu! Kugenapi sudah janjiku! Dengan perasaan haru, bahagia dan penuh syukur akhirnya  kami kembali ke tempat singgah untuk segera melanjutkan perjalanan pulang ke Bali.


“Aku akan pulang membawa persembahan kecil ini. Ga sabar ingin liat senyum bahagia di wajah mu, ibu. Tunggu aku!”

MERAJUT MIMPI, MEMBANGUN ASA, MENGGAPAI CITA (Part 4)

PROYEK PERTAMA: LOMBA KARYA TULIS IKIP SINGARAJA
Tak perlu waktu yang lama untuk mencari orang yang ternyata memiliki tujuan yang sama. Salah seorang rekanku, Mardika Putra menerima begitu saja tawaran untuk bekerja dalam tim dan menyusun karya tulis itu. Target kami: Juara! Sekalipun sebenarnya ini adalah proyek pertama kami.

Berhubung kami tak pernah mengikuti atau klub ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) atau lembaga sejenisnya sama sekali, maka langkah pertama yang harus kami lakukan adalah belajar tentang karya tulis. Segala macam tentangnya. Dengan mengendarai sepeda motor biru milik Bagonk (panggilan akrab Mardika) kami melaju ke perpustakaan provinsi Bali yang berada tak jauh dari sekolahku. Kami mencoba menyusuri setiap lemari yang menjulang tinggi, mencari referensi tentang karya ilmiah. Bodohnya, kami tak mencarinya berdasarkan catalog yang ada di dekat pintu masuk. Nekat saja kami masuk ke dalam dan mencarinya satu per satu diantara ribuan deretan buku yang tersusun rapi. Maklum saja, kami sama-sama anak SMA biasa yang sama sekali belum pernah ke perpustakaan sebelum saat itu. Walhasil, dalam 1 jam kami hanya mendapatkan 3 buah buku yang kami rasa tepat. Kami segera baca, cari poin-poin penting dari informasi dasar yang kami butuhkan untuk menyusun suatu karya tulis yang baik.

Kira-kira selama 2 pekan kami berdiskusi, berbagi pikiran, mencari literatur dan pergi kesana-kemari untuk mencari narasumber yang dapat kami mintai keterangan terkait dengan gagasan kami. Saat itu karya tulis kami tentang potensi pemanfaatan air sungai Badung – sungai terbesar dengan kondisi terkotor yang melintasi kota Denpasar – sebagai air minum. Bismillah, dengan segenap kepercayaan diri kami  mulai melakukan studi literatur, observasi lapangan, pengumpulan data primer, data sekunder dan penyusunan naskah. Hingga akhirnya sebulan lamanya kami mondar-mandir kesana kemari ibarat setrika, kami kirim naskah karya tulis yang telah selesai disusun itu ke panitia dan berharap bisa lolos ke babak final.

Awalnya aku dan bagonk tidak cukup optimis untuk bisa lolos ke babak semifinal. Sebab ini adalah karya tulis pertama yang kami susun. Hari berganti, waktu pun berlalu. Kabar belum kunjung datang. Hingga akhirnya, selang beberapa pekan setelah batas akhir pengiriman kami mendapatkan kabar bahwa ternyata dari 40-an tim yang mengirimkan karyanya, tim kami berhasil masuk ke 6 besar dan diundang menjadi finalis lomba tersebut. Ibarat orang yang tiba-tiba mendapatkan undian berhadiah 1 Milyar, sontak kami kegirangan dan segera mempersiapkan slide presentasi .

Di hadapan dewan juri, kami tampil dengan sedikit gagu dan bahasa yang bercampur antara bahasa formal dan tidak formal. Saat itu sulit membedakan antara bahasa gaul sehari-hari dengan bahasa ilmiah. Maklum saja, kami gugup sekali. Bagaimana tidak? Selain karena ini adalah kali pertama kami presentasi, dewan jurinya merupakan dosen-dosen terbaik di Bali yang telah menyelesaikan studi master dan doktoralnya di German! Hal ini sangat berbeda dengan 5 finalis lainnya yang mempresentasikan karya tulis mereka dengan gaya yang meyakinkan, dan tidak membosankan. Ah, rasanya mustahil bisa menang! Bayangku untuk mendapatkan hadiah berupa uang yang nantinya dapat kugunakan untuk membayar uang sekolah terbang kesana-kemari. Sepertinya ia akan lepas dari genggaman. Fiuuh.

Namun ternyata dugaan kami keliru. Namanya juga manusia, seringkali sok tau. Bayang-bayangku tadi tiba-tiba mendekat dan menyambar tanganku saat panitia mengumumkan bahwa kami berhasil mendapatkan juara II dan berhak mendapatkan hadiah berupa Trophy, piagam penghargaan dan sejumlah uang tunai. Sontak aku lompat kegirangan dari kursi audience sambil mengucap syukur yang mendalam kepada Sang Sutradara Kehidupan: Tuhan. Sungguh tak dapat disangka! Allah mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Padahal saat itu bahkan kami pun tidak yakin dengan diri kami sendiri.

Dengan rasa bahagia yang mengaharu biru, kubawa pulang oleh-oleh trophy juara II dan kupersembahkan untuk ibu. Berharap ibu bisa sedikit tersenyum ditengah sulitnya kondisi keluarga yang menghimpit. Uang yang kudapatkan, sejumlah Rp 250.000 dari  perlombaan itu kuberikan pada ibu. Kukatakan padanya, ini untuk membantu melunasi biaya sekolah. Namun dengan wajahnya yang teduh Ibu menolaknya. Ia menyampaikan padaku untuk menyimpan saja uang itu sebagai tabungan dan membeli apa yang kuinginkan. Aku hanya dapat tertunduk di hadapan Ibu. Batinku, mungkin penghasilan yang kuperoleh ini masih sedikit dan belum bisa membantu banyak. Sejak saat itu kutekadkan untuk mengikuti perlombaan dengan skala yang besar sehingga bisa mendapatkan hadiah yang lebih besar pula. Jadi aku benar-benar bisa membantu ibu. Aku yakin aku bisa!!

MERAJUT MIMPI, MEMBANGUN ASA, MENGGAPAI CITA (Part 3)

“AKU HARUS MELAKUKAN SESUATU!!”
Sebagai seorang remaja laki-laki yang seharusnya bisa dibebankan amanah keluarga, aku mencoba berpikir bagaimana caranya agar aku dapat mengurangi beban hidup keluarga. Aku tak bisa tinggal diam melihat kondisi keluarga seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu! Akhirnya kuputuskan untuk memulainya dari hal yang paling sederhana dari diriku. Aku mencoba untuk tidak meminta uang saku kepada ibu dan ayah. Kusampaikan maksudku pada ibu dan aku membawa bekal saja dari rumah dan berangkat ke sekolah menggunakan sepeda untuk mengirit ongkos transportasi. Tak perduli apa kata teman-temanku di sekolah yang kebanyakan membawa sepeda motor dan beberapa membawa mobil. Tak perduli meski setiap hari aku harus berangkat pukul 6, mengayuh sepeda butut peninggalan paman sejauh 9 km. Pokoknya aku harus membantu ibu ringankan beban keluarga!
Seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa ternyata apa yang kulakukan belum cukup membantu perekonomian keluarga. Tak ada perubahan yang signifikan dalam keuangan keluarga. Masih ada beban biaya yang harus kuminimalkan selain biaya hidup ku sehari-hari salah satunya adalah uang sekolah. Saat itu biaya sekolah tinggi sekali dan aku sempat menunggak hingga 3 bulan akibat ibu belum mampu membayarnya. Bahkan suatu waktu aku dipanggil oleh Bendahara sekolah dam terancam dikeluarkan dari sekolah karena terus menerus menunggak biaya SPP. Dari sana aku bertekad bahwa aku harus mampu melakukan sesuatu untuk keluargaku, atau paling tidak untuk biaya pendidikanku sendiri. Aku tidak ingin tidak lulus SMA! Aku ingin menyelesaikan SMA dan melanjutkan kuliah!
Berangkat dari tekad itu, akhirnya kucoba kukumpulkan semangat juang untuk mencari cara agar aku mampu mendapatkan uang dalam jumlah yang cukup besar dalam watu singkat dan pastinya halal (baca: dengan cara-cara yang diizinkan dalam agama). Mencoba kesana kemari, tanya sana-tanya sini. Mencari tau peluang apa yang kira-kira bisa kulakukan.
Akhirnya atas informasi salah seorang teman, aku mencoba untuk mengikuti program MLM. Katanya dalam waktu 1-2 bulan bisa mendapatkan uang sampai 2 juta rupiah. Wow! Angka yang fantastis menurutku saat itu. Sebab jika aku mendapatkan uang itu, artinya biaya SPP ku bisa lunas. Namun teryata setelah kutelusuri lebih jauh, setelah kupelajari lebih dalam, ternyata dibutuhkan modal berupa uang juga sebelum akhirnya aku mendapatkan customer. Katanya sih memang murah, hanya dengan berinvestasi sebesar Rp 900.000 aku bisa mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Tapi berhubung tidak punya uang , otomatis tawaran itu tidak kuambil. Aku coba lagi mencari cara lain yang benar-benar tanpa modal uang, sebab aku tak punya uang. Yang kupunya hanyalah semangat juang! 
Di titik kebuntuan aku mencoba berjalan keliling sekolah seusai pelajaran terakhir usai, mencari inspirasi. Dan ternyata benar, Alhamdulillah, inspirasi itu akhirnya muncul dari  sebuah poster berukuran A3 yang terpampang di salah satu MADING (Majalah Dinding) disebuah lorong sekolah. “Lomba Karya Tulis Ilmiah Se-Bali. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Singaraja. Penghargaan: Juara I: Rp 1.000.000 Juara II: Rp 750.000 Juara III: Rp 500.000” Aha! Ini dia yang aku cari!. Hanya bermodalkan waktu untuk menulis, komputer, otak dan wawasan aku bisa mendapatkan uang. Segera kulihat deadline waktunya dan kuajak salah seorang rekanku yang juga bersemangat mengikuti lomba-lomba serupa ini. “Ma, Angga akan buktikan bahwa Angga mampu membantu keluarga!”