Senin, 13 Juni 2011

MERAJUT MIMPI, MEMBANGUN ASA, MENGGAPAI CITA (Part 2)


KEHIDUPAN DI BALI: AWAL MULA JATUH-BANGUN

Singkat cerita aku, kakakku dan ibuku pindah ke Denpasar pada akhir tahun 1997 saat aku menginjak bangku kelas 3 SD. Berkat pertolongan Allah akhirnya ibu mendapatkan pekerjaan yang lebih layak di sebuah kantor penyimpanan dan pengolahan ikan Tuna di Benoa sebagai seorang karyawan di bagian penyimpanan. Sementara ayah tiriku bekerja di sebuah kapal penangkap ikan tuna.

Melalui rezeki yang diberikan itu aku dan kakakku berhasil menyelesaikan jenjang SD dengan baik. Aku sempat menjadi peraih NEM tertinggi disekolahku saat itu. Meskipun hanya peringkat ke-6, tapi rasanya sangat memuaskan bisa memberikan yang terbaik. Selama masa-masa itu kehidupan kami terasa sangat mudah. Pekerjaan sampingan membuka usaha catering kecil-kecilan memang menjadi sebuah jalan kemudahan bagi kami hingga kami lulus SMP.

Semua itu berjalan dengan sangat membahagiakan hingga pada akhirnya keadaan menjadi kian memburuk saat aku mulai meninggalkan bangku kelas 1 SMA. Perusahaan tempat ibu bekerja gulung tikar akibat isu internal. Sementara itu penyakit Diabetes mellitus (baca: kencing manis) yang sudah menggerogoti ayah sejak aku SMP mulai mengganas. Ayah mulai sakit-sakitan hingga akhirnya ia tak bisa melanjutkan lagi pelayaran bersama rekan-rekannya untuk mencari ikan. Otomatis suplai finansial keluarga menjadi berkurang drastis. Belum lagi biaya kontrakan yang melambung, biaya pendidikan yang meningkat pesat baik di sekolahku maupun ditempat kakakku bersekolah. Sedangkan kebutuhan finansial kami hanya didukung oleh usaha catering kecil-kecilan milik ibu.

Setiap pekan sekali ayah harus pergi berobat ke dokter dan dibutuhkan biaya yang tidak murah. Sekali kunjungan saja bisa menghabiskan uang Rp 150.000,00. Belum lagi obat yang harus ditebus rata-rata seharga 200 ribu setiap kali ambil resep. Biaya pendidikan di sekolahku Rp 350 ribu sebulan. Belum lagi kebutuhan hidup kakak di kota tegal sana yang paling tidak membutuhkan sekitar 900 ribu setiap bulannya. Sementara penghasilan ibu dari catering tidaklah banyak dan tak dapat menutupi seluruh kebutuhan keluarga.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut akhirnya kami menjual aset-aset pribadi yang dimiliki. TeleVisi, sepeda motor, kulkas dan segala yang dinilai berharga kami jual kecuali seperangkat komputer Pentium III yang sudah mulai ketinggalan jaman saat itu. Kata ibu yang diprioritaskan hanya 2 hal saat itu : kesembuhan ayah dan pendidikan kami, putra-putranya. Saat itu roda kehidupan kami kembali berada di titik bawah. Terpaksa kami harus hidup dengan lebih hemat agar kami dapat tetap bertahan dalam keadaan ini.

Aku iba melihat ibu harus menanggung semua derita ini. Ibu harus bekerja hingga larut malam hingga pukul 11. Setiap hari ibu berangkat bekerja bersama rekannya pukul 9 pagi dan harus kujemput antara pukul 10 hingga 11 malam. Ia rela bekerja paruh waktu diluar bekerja utama untuk menambah pemasukan keluarga. Agar ayah tetap dapat berobat, agar kami tetap dapat bersekolah..

Saat itu aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Aku hanyalah seorang anak remaja SMA yang sedang labil. Yang dapat kulakukan saat itu hanya mencoba menerima kenyataan pahit dengan pura-pura tegar. Yang dapat kuperbuat hanyalah menjalankan apa yang ibu anjurkan. Yang aku lakukan hanyalah diam dan tak berdaya. Aku malu atas diriku sendiri!

MERAJUT MIMPI, MEMBANGUN ASA, MENGGAPAI CITA

Semua ini bermula dari sebuah keinginan yang menggebu-gebu untuk terus menerus belajar dan belajar dan menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Meskipun sebenarnya sangat sulit bagiku untuk bisa mewujudkan harapan itu. Mengingat aku bukanlah berasal dari keluarga mampu yang memiliki anggaran pendidikan yang cukup. Latar belakang pendidikan keluargaku pun tak sejalan dengan cita-citaku yang begitu tinggi: guru besar.

Adanya ketidakpercayaan dan hinaan yang dilontarkan oleh tetangga-tetanggaku di desa kepada keluargaku karena kemiskinan kami mungkin juga menjadi salah satu pemicu hingga saat ini untuk membuktikan kepada mereka bahwa kemiskinan dan latar beakang pendidikan yang rendah bukanlah penghambat bagi seseorang untuk dapat melangkah maju. Maklum lah, image (baca: gambaran) keluarga yang tinggal di rumah berdinding bambu dan beralas semen seadanya di tepian sawah, dipelosok kampung di sudut kota jember memang identik dengan kemiskinan. Tapi maaf, kami kaya akan semangat hidup!

Berlandaskan semangat itulah akhirnya aku terus melangkah menjalani pendidikan dasar. Entah darimana datangnya, rezeki itu selalu ada. Dengan hanya bermodalkan berjualan kacang othok (jawa: kacang kedelai yang digoreng lalu diberi bumbu) yang dibungkus dengan plastik kiloan dan dijual di kantin-kantin sekolah ibuku mampu mengantarkan anaknya hingga setengah masa SD.

Masih segar dalam ingatanku, pada saat pertama kali Ibu membuat kacang othok untuk dijual di kantin sekolah. Setiap malam sekitar jam 2, ketika aku terjaga dari tidurku kulihat ibu sedang terduduk sambil terduduk di sudut kamar ditemani sebongkah lilin. Awalnya aku heran apa yang dilakukannya tengah malam begini. Padahal kemarin rasanya ia ngelonin (Jawa: menemani tidur) aku dan kakakku. Tampak setoples besar kacang kedelai yang telah diberi bumbu di sebelah ibu. Kulihat dirinya sedang memegang plastik panjang yang telah diisi kacang lalu membakar sebagian plastiknya agar plastik itu tertutup rapat. Awalnya aku tak tau apa yang sedang dilakukan ibu. “Ma, lagi ngapain?”, tanyaku polos. “Ini lagi mbungkus kacang othok.” Jawabnya sambil tak melihat ke arahku. “Udah, angga tidur aja… ngapain bangun malem-malem gini.” Tanyanya kembali. “Pengen pipis, ma.” Jawabku sambil menguntai senyum manja. Gigi-gigi ompongku mencuat keluar seolah menyampaikan pesan pada ibu, “Anterin angga ke jedhing (Jawa: Kamar mandi).” Lalu ia raih tanganku dan antarkan diriku ke kamar mandi.

Esok paginya, sebelum Ibu berangkat ke kantor Asuransi tempat ia bekerja, ibu menyuruhku membawa sebungkus kresek besar berisi kacang othok yang telah dibungkus semalaman ke sekolah. Ia berpesan padaku untuk menyerahkan kacang ini ke petugas kantin di SDN Kepatihan II, tempatku bersekolah. Dengan polosnya aku penuhi permintaan Ibu. Meski aku tak tahu untuk apa Ibu menyuruhku seperti itu. Belakangan, ketika aku SMP baru aku menyadari bahwa ibu rela bangun malam-malam, membuat kacang othok, membungkusnya dan menyuruhku menitipkan di kantin sekolah adalah untuk menambah penghasilan dan membiayai kehidpan keluarga kami. Maklum, ibu dan ayah telah bercerai sejak aku berumur 3 tahun dan beban keluarga sepenuhnya ditanggung oleh ibu sejak saat itu. Termasuk biaya sekolahku dan kakakku.

Senin, 02 Agustus 2010

THESE ARE MY DREAMS, WHERE ARE YOURS?!!

Pengalaman telah membuktikan, bahwa impian-impian yang ditulis dan dideklarasikan memiliki pengaruh yang kuat terhadap diri seseorang untuk terus berupaya dalam menggapai impian-impian tersebut.
Selain itu, impian-impian itu selayaknya ditulis agar kita tidak lupa bahwa kita memiliki banyak impian dan capaian yang ingin kita gapai dalam kehidupan ini.
Impian-impian yang kita tulis ini ibaratnya patok-patok yang akan menjadi tujuan kita. Sehingga ketika kita merasa kehilangan arah kita bisa melihat dimana patok kita dan kembali menuju patok itu. Patok-patok itu nantinya juga akan membantu kita dalam menyusun rencana dan strategi dalam mencapainya.

Dan ini adalah sebagian dari apa yang ingin kuraih dalam hidup ini

Impian utama : Mati husnul khatimah pada saat sujud di sepertiga malam terakhir

TERKAIT AGAMA :
1. Mendirikan organisasi Muslim Scientist Indonesia
2. Mengadakan konferensi Ilmuan Muslim Dunia
3. Membangun komunitas Youth Muslim Scientist yang didalamnya ada beberapa klub yang secara khusus mempelajari hal-hal yang terkait dengan seorang ilmuan muslim
4. Menulis buku kajian sains dari sudut pandang Al Qur’an
5. Menulis buku yang berisi kumpulan kisah ilmuan prestatif muallaf
6. Mendrikan yayasan pantia asuhan
7. Membangun Masjid
8.

TERKAIT IBADAH :
9. MENIKAH sebelum umur 25
10. Naik haji bersama istri, kakak dan istrinya
11. Mencium hajar aswad
12. Konsisten menghatamkan bacaan Al Qur’an dalam waktu 1 bulan
13. Menjadi penghafal Hafal Hadist Arba’in
14. Menjadi penghafal Qur’an
15. Konsisten shalat malam setiap hari
16. Konsisten puasa senin – Kamis

TERKAIT KELUARGA:
17. Membawa bunda naik haji
18. Memiliki kos-kosan untuk bunda
19. Punya toko kue untuk bunda
20. Melaksanakan kajian keislaman rutin di keluarga sepekan sekali
21. Melaksanakan kajian Al Qur’an, dan hadist setiap ba’da shubuh
22. Melaksanakan program tahfidz keluarga setiap ba’da maghrib
23. Memiliki anak laki laki dan perempuan (harapan)
24. Memiliki Perpustakaan keluarga (1000 koleksi buku)
25. Memiliki waktu khusus untuuk pertemuan keluarga (reuni keluarga)
26. Makan malam rutin bersama keluarga setiap hari
27. Sarapan rutin bersama keluarga
28. Brotherhood dinner (setiap 2 pekan)  ganti2an : di rumah kakak, di rumah adik
29. Memiliki Family plan dan lifeplan dengan istri
30. Memiliki program tafakkur alam setiap akhir selama 3 pekan sekali
31.

TERKAIT KARIR :
32. Mendirikan lembaga Penelitian Indonesia yang Kokoh, mandiri dan visioner
33. Memiliki anak perusahaan berupa laboratorium pemurnian protein
34. Memiliki anak perusahaan yang bergerak dalam bidang bioteknologi
35. Memiliki lembaga yang bergerak dalam bidang pemanfaatan teknologi tepat guna bagi masyarakat
36. Bersama tim membuat 100 karya untuk masyarakat
37. Menyelesaikan program doktor di Jepang sebelum umur 30
38. Memiliki 3 publikasi internasional
39. Peraih medali Emas PIMNAS
40. Lulus program S1 pada bulan Juli 2010
41. Memperoleh beasiswa MEXT
42. Melanjutkan program Doktoral di Jepang

TERKAIT PRIBADI :
43. Mati khusnul khotimah saat sujud pada saat shalat di sepertiga malam trakhir
44. Memiliki laboratorium penelitian pribadi di rumah
45. Candle light dinner at top of eiffel bersama istri
46. Kencan bersama istri sambil mentafakkuri bulan purnama di pantai
47. Memiliki kamera SLR dengan lensa tambahan
48. Memilii digital camera yang ringan
49. Memiliki sepeda gunung dengan Alumunimium body full accesories
50. Menyelam dan Wisata laut Taman Bunaken
51. Mengunjungi Puncak Fujiyama
52. Mengunjungi Niagara Waterfall. Melihat air terjun terbesar yang diciptakan Sang Pencipta
53. Mengunjungi Grand Canyon, mentafakkuri setiap lekukan dan jurang yang begtiu dalam karya Sang Pencipta
54. Tabungan 10 dinar di akhir tahun 2010
55. Lancar berbahasa Arab, Jepang, Inggris
56. Lancar membaca kitab arab gundul
57. Bisa lancar menulis tulisan Arab
58. Bisa lancar nulis huruf Kanji
59. Nilai TOEFL 600
60. Menjadi penulis tetap di majalah sains populer
61. Memiliki rumah dengan kebun yang luas di daerah pegunungan
62.


TERKAIT AKHLAQ :
63. Menjadi ayah yang arif dan bijaksana
64. Menjadi manusia yang sabar
65. Menjadi manusia yang istiqomah dan bertawakkal

Ya.. itulah impianku, kawan. Mana impianmu?

” Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang merubah nasibnya “ (Potongan dari Al Qur’an surat Ar Ra’d : 11)

Ditulis dengan penuh harap pada Allah,
yang akan memberikan yang kubutuhkan bukan yang kuinginkan
memberian yang terbaik
dan meridhai setiap langkah

Rabu, 28 Juli 2010

Aku tak ingin istirahat, Aku hanya tak paham apa yang terjadi pada diriku

Kucoba ketuk pintu itu perlahan
Berharap akan ada seseorang yang mampu menjawab kegundahan
Sekali...
Dua kali...
Tiga kali...
Yang kudengar hanyalah isak tangis menyayat hati

Kulanjutkan perjalanan
Kuselami lautan
Berharap akan temukan kunci jawaban
Diantara tumpukan terumbu karang
Namun yang kudapatkan hanya ketiadaan

Jika kau tanya ada apa denganku
Maka aku pun akan bertanya, "Ya, ada apa denganku?"

Aku galau atas kegalauanku
AKu tak mengerti dengan apa yang kumengerti
Aku tak paham atas apa yang kupahami

Terasa begitu kosong diantara ruang yang penuh sesak oleh kekosongan
TErasa hampa didalam kesunyian
Merasa sendiri ditengah hiruk pikuk kesibukan

Merasa tak mampu mengendalikan diri
Merasa semua berada diluar kemampuanku

Tuhan...
Aku tak paham
Aku tak mengerti

Ada apa dengan diri ini??!
Mengapa begitu sepi??!

Beri hamba jawaban
Beri hamba petunjuk-Mu

Selasa, 29 Juni 2010

Kini aku bukan sosok itu lagi...


Bismillah ya Rahman ya Rahim
Tak terasa, kini diriku telah beranjak dewasa.
Kini, gernap sudah 21 tahun umurku.
Masa remaja mulai kutinggalkan perlahan.
Saat-saat kanak-kanak telah jauh kubiarkan menjadi kenangan dibelakang.

Entah harus bahagia atau sedih.
Bahagia karena Allah telah berikanku kesempatan untuk tetap hidup di bumi-Nya,
atau justru bersedih
karena waktu yang kulewati selama ini tidak banyak memberikan manfaat bagi orang-orang disekitar.
Tak tahu harus menyesal atau bersyukur.
Menyesal karena tak mampu menjalankan amanah waktu dengan baik,
atau bersyukur
karena setidaknya Allah masih mengizinkanku untuk berusaha melakukan yang bisa kulakukan.
Tak mengerti, harus bagaimana....
Yang kutahu,...
Saat ini aku bukan lagi Bocah itu,
Yang bisanya hanya merengek dan memikirkan diri sendiri.
Yang kupahami,
Saat ini aku bukan lagi sosok itu,
Yang hanya mau menang sendiri
Yang kumengerti,
Saat ini beban hidupku bertambah
Dan kuharus mempersiapkan diri
Untuk mengemban Amanah...
Dan kusadari,
Kini aku bukan sosok itu lagi....

Selasa,
Penghujung tahun ke dua puluh



Rabu, 23 Juni 2010

Hikmah Perjuangan Meraih PIMNAS 2010

Pagi ini, saya mendapatkan sebuah berita yang sudah saya nanti-nantikan sejak beberapa pekan yang lalu. Sebuah berita yang menginformasikan kepada saya apakah perjuangan saya kali ini dalam Ajang PIMNAS ke XXXIII di Bali tahun 2010.Saat itu saya mendapatkan kabar dari seorang teman bahwa tim dari ITB yang berhasil lolos ke tahap berikutnya hanya 6 tim dan ketika saya tanyakan adakah nama saya didalamnya, ia menjawab : tidak ada.
Alhamdulillah... Rasa sedih bercampur haru mengisi hati saya saat itu.
Sedih, sebab ternyata harapan saya tidak berbuah menjadi kenyataan.
Haru, sebab ternyata penantian ini usai sudah.
Apa yang menjadi sebuah harapan dan keinginan yang saya tuliskan pada secarik kertas buram di langit-langit tempat tidur saya tidak terwujud. Saya memiliki harapan untuk bisa melaju di ajang PIMNAS tahun 2010 dan berkompetisi dengan mahasiswa lainnya dari seluruh penjuru Indonesia.
Namun ternyata Allah memiliki rencana lain yang lebih indah dibalik semua ini.

Mungkin, niat saya belum lurus untuk mengikuti PKM ini. Selama mengikuti rangkaian kompetisi PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) sejak bulan November tahun 2009 niat saya mungkin tidak lurus mencari keridhaan Allah semata. Iming-iming uang tunai Rp 15.000.000,00 yang dapat saya menangkan dan saya simpan untuk biaya pernikahan saya mungkin telah mencemari niat saya.

Bayang-bayang "Prestasi peraih Medali emas PIMNAS 2010" dalam CV (Curriculum Vitae) saya mungkin telah membuat niat saya semakin melenceng dari niat karena Allah. Astaghfirullah... Seharusnya niatnya tidak sedangkal itu.
Selama menjalani kegiatan PKM ini, saya terlalu banyak lalai dalam melaksanakan ibadah. Banyaknya pekerjaan yang harus saya lakukan selama menjalani PKM telah membuat saya meninggalkan shalat berjama'ah di masjid di awal waktu. Bahkan bekerja hingga dini hari membuat saya terlambat untk melaksanakan shalat shubuh. Banyaknya energi yang saya kuras telah membuat kualitas ibadah saya menjadi semakin terpuruk. Belum lagi ditambah interaksi saya dengan Kalamallah yang sangat minim setiap harinya, membuat kualitas ruhaniyah sedemikian berantakan. Tak heran jika banyak pelanggaran-pelanggaran yang saya lakukan selama kurun waktu tersebut.

Belum lagi pemenuhan hak teman-teman saya yang seringkali saya nomor-sekiankan, hanya untuk mengambil data di laboratorium. Agenda-agenda yang seharusnya dapat saya lakukan untuk memenuhi hak teman-teman saya dan memenuhi kewajiban saya, saya kesampingkan hanya untuk mengejar PKM. Astaghfirullah....
Maafkan saya, teman-teman....

saya jadi paham... mungkin itu sebabnya Allah tidak mengizinkan saya untuk lolos dalam kesempatan kali ini. Dari niat saja sudah kurang lurus, ditambah lagi selama pelaksanaan banyak maksiat. Jika saja Allah mengizinkan saya untuk lolos ke PIMNAS, mungkin saya akan semakin sombong dan semakin angkuh. Bisa jadi saya semakin banyak bermaksiat.

Alhamdulillah ya Rabb... Sungguh Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Hamba bersyukur atas ni'mat yang masih Engkau berikan.


Mungkin selama ini saya terlalu ambisi didalam meraih apa yang ingin saya capai. saya telah dikuasai nafsu yang sedemikian besar untuk memenangkan kompetisi ini.
Akibatnya hamba melupakan-Mu, Sang Pemilik Kehidupan....
Akibatnya hamba lupa apa sebenarnya tujuan penciptaan hamba.
Mungkin selama ini mata hamba telah dibutakan oleh nafsu duniawi
Menganggap bahwa apa yang ingin hamba capai adalah hal terbaik untuk hamba.
Ah... sungguh sombongnya diri ini. 
Padahal Allah telah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 216 :

Boleh jadi kamu membenci \sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Sungguh lalai diri ini.
Ampuni hamba ya Rabb...
jangan biarkan hamba terus menerus seperti ini.
Biarkan momen PKM dan PIMNAS kali ini menjadi pembelajaran yang sangat berarti bagi kami.
Karena sesungguhnya hanya Engkau lah yang paling mengerti apa yang kami butuhkan, bukan kami
Karena hanya Engkau lah yang paling mengerti jalan yang terbaik bagi kami.

Hamba yakin, ini adalah jalan yang terbaik yang Engkau berikan. Lega rasanya... Do'a yang selalu hamba lantunkan dalam sujud malam, dalam setiap shalat Engkau ijabah (kabulkan) Duhai Yang Maha Mendengar dan Mengabulkan Do'a.

"Ya Allah... Ihdinashsiratal mustaqim. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus."
Apapun jalan yang Engkau tunjukkan, tunjukkanlah hamba yang lurus saja. Dan ini adalah jalan yang lurus itu.
Alhamdulillah...

Ruanganku, 23 juni 2010
Ditemani sekelompok penyesalan
dan syukur yang mendalam

Minggu, 20 Juni 2010

Sebuah momen bersama yang takkan tergantikan

Bismillah...

Beberapa hari yang lalu, kusempatkan diri ini pulang sejenak, memenuhi hak ibuku yang telah lama merindukan kehadiran putra bungsunya. Awalnya aku berniat akan pulang ke jakarta pada akhir bulan juni nanti, sebab saat itu aku memiliki waktu cukup luang. Namun ternyata Allah memutar balikkan hatiku. Saat itu aku teringat akan kata-kata ibuku dalam percakapan kami di telepon sepekan yang lalu, “Angga, mama kangen sekali. Sudah beberapa bulan ini angga ga pulang.” Dan aku hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman saja, mengingat saat itu aku tak dapat pulang. Ada beberapa tugas yang masih harus kuselesaikan. Aku tau, ibu sangat mengharapkan kehadiranku di hari ulang tahunku yang ke 21 ini. Hanya saja ia tak menyampaikannya secara langsung. Melalui kata-katanya, dapat kupahami ia sangat merindukan saat-saat berkumpul bersama-sama, ibuku, aku dan kakakku. Sekalipun ia tak mengucapkannya. Aku paham hal itu.
Sejenak aku berpikir kembali, “Tidakkah kau terlalu egois, ye?!” Aku terdiam, sebab pekerjaan itu memang tak dapat kutinggalkan.

Malam harinya seorang temanku mengingatkanku sebaiknya aku pulang saja, meskipun ia tak tahu apa pertimbanganku dan apa yang sedang terjadi.
Lalu kuberpikir kembali, “Ya! Memang seharusnya aku pulang. Sungguh sangat egois diri ini jika untuk memenuhi harapan ibu saat ini saja aku tak mampu, bagaimana aku dapat membuatnya bahagia kelak??! Bukankah saat ini Allah masih mengizinkanku untuk bertemu dengan beliau?! Laporan PKM yang harus kuselesaikan hanyalah sebuah laporan yang masih bisa ditunda. Itu lebih Duniawi! dan masih ada kesempatan lain untuk bisa mengukir prestasi. Sedangkan ibuku?? Jangan sampai suatu saat nanti aku menyesal karena tak dapat memenuhi harapan ibunda, sebab ia telah tiada” Seketika itu pula kuubah semua rencana yang kususun pekan ini. Lupakan PKM, masih ada yang bisa mengurus laporannya, tapi tidak ada yang bisa memenuhi harapan ibuku selain diriku!.
sore hari itupun aku bergegas menuju kota metropolitan penuh keragaman itu sambil membawa sebuah kue mungil sederhana berhiaskan lilin diatasnya. Kubawa untuk memenuhi harapan ibuku yang saat ini sedang menantikan kehadiranku.

Setibanya dirumah, ibu dan kakakku sedang pergi keluar rumah. Tepat sesuai rencana yang telah kami (aku dan kakakku) susun sebelumnya. Kusiapkan kue kecil itu dan kuhidupkan lilin-lilin mungil berwarna putih itu. Sambil menunggu kedatangan ibu dan kakakku.Sekitar 20 menit setelah kedatanganku, ibuku datang. Seperti yang telah kuduga sebelumnya : ibuku kaget, melihat keadaan ruang depan yang gelap gulita dan hanya 3 buah lilin yang hidup diatas kue mungil. Spontan ia berkata, “Ah, pasti adik ini! Ini sepatunya ada disini”. Aku yang bersembunyi di belakang pintu mengumpat diri sendiri, “Kenapa sampai lupa menyembunyikan sepatunya dulu? T.T” Akhirnyalah rencana itu jadi berjalan tidak semulus yang kami rencanakan. Tapi meskipun demikian, kulihat senyum ibu menunjukkan kebahagiaannya yang mendalam atas kepulangan anaknya yang paling tinggi ini. Dan kami bertiga melewati malam itu dengan sepotong kue, sepiring gorengan dan beberapa cangkir air putih. Cukup sederhana, tapi begitu menyentuh hati kami, begitu hangat menyelimuti hati kami yang tadinya beku dan cukup membuat akar-akar pohon cinta itu menjalar semakin dalam di hati kami.

Kuharap Allah senantiasa menjaga kedamaian dalam keluarga ini, kehangatan ini, dan rasa cinta ini seberapa jauh pun ruang dan waktu memisahkan kami.
hingga suatu saat nanti, kami bisa bertemu kembali dalam sebuah reuni akbar di Jannah-Nya.
Aamiin Ya sami'udu'a....

Ruanganku,
Penghujung pekan kedua bulan Juni
10 tahun setelah millenium kedua