Selasa, 14 Juni 2011

MERAJUT MIMPI, MEMBANGUN ASA, MENGGAPAI CITA (Part 3)

“AKU HARUS MELAKUKAN SESUATU!!”
Sebagai seorang remaja laki-laki yang seharusnya bisa dibebankan amanah keluarga, aku mencoba berpikir bagaimana caranya agar aku dapat mengurangi beban hidup keluarga. Aku tak bisa tinggal diam melihat kondisi keluarga seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu! Akhirnya kuputuskan untuk memulainya dari hal yang paling sederhana dari diriku. Aku mencoba untuk tidak meminta uang saku kepada ibu dan ayah. Kusampaikan maksudku pada ibu dan aku membawa bekal saja dari rumah dan berangkat ke sekolah menggunakan sepeda untuk mengirit ongkos transportasi. Tak perduli apa kata teman-temanku di sekolah yang kebanyakan membawa sepeda motor dan beberapa membawa mobil. Tak perduli meski setiap hari aku harus berangkat pukul 6, mengayuh sepeda butut peninggalan paman sejauh 9 km. Pokoknya aku harus membantu ibu ringankan beban keluarga!
Seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa ternyata apa yang kulakukan belum cukup membantu perekonomian keluarga. Tak ada perubahan yang signifikan dalam keuangan keluarga. Masih ada beban biaya yang harus kuminimalkan selain biaya hidup ku sehari-hari salah satunya adalah uang sekolah. Saat itu biaya sekolah tinggi sekali dan aku sempat menunggak hingga 3 bulan akibat ibu belum mampu membayarnya. Bahkan suatu waktu aku dipanggil oleh Bendahara sekolah dam terancam dikeluarkan dari sekolah karena terus menerus menunggak biaya SPP. Dari sana aku bertekad bahwa aku harus mampu melakukan sesuatu untuk keluargaku, atau paling tidak untuk biaya pendidikanku sendiri. Aku tidak ingin tidak lulus SMA! Aku ingin menyelesaikan SMA dan melanjutkan kuliah!
Berangkat dari tekad itu, akhirnya kucoba kukumpulkan semangat juang untuk mencari cara agar aku mampu mendapatkan uang dalam jumlah yang cukup besar dalam watu singkat dan pastinya halal (baca: dengan cara-cara yang diizinkan dalam agama). Mencoba kesana kemari, tanya sana-tanya sini. Mencari tau peluang apa yang kira-kira bisa kulakukan.
Akhirnya atas informasi salah seorang teman, aku mencoba untuk mengikuti program MLM. Katanya dalam waktu 1-2 bulan bisa mendapatkan uang sampai 2 juta rupiah. Wow! Angka yang fantastis menurutku saat itu. Sebab jika aku mendapatkan uang itu, artinya biaya SPP ku bisa lunas. Namun teryata setelah kutelusuri lebih jauh, setelah kupelajari lebih dalam, ternyata dibutuhkan modal berupa uang juga sebelum akhirnya aku mendapatkan customer. Katanya sih memang murah, hanya dengan berinvestasi sebesar Rp 900.000 aku bisa mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Tapi berhubung tidak punya uang , otomatis tawaran itu tidak kuambil. Aku coba lagi mencari cara lain yang benar-benar tanpa modal uang, sebab aku tak punya uang. Yang kupunya hanyalah semangat juang! 
Di titik kebuntuan aku mencoba berjalan keliling sekolah seusai pelajaran terakhir usai, mencari inspirasi. Dan ternyata benar, Alhamdulillah, inspirasi itu akhirnya muncul dari  sebuah poster berukuran A3 yang terpampang di salah satu MADING (Majalah Dinding) disebuah lorong sekolah. “Lomba Karya Tulis Ilmiah Se-Bali. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Singaraja. Penghargaan: Juara I: Rp 1.000.000 Juara II: Rp 750.000 Juara III: Rp 500.000” Aha! Ini dia yang aku cari!. Hanya bermodalkan waktu untuk menulis, komputer, otak dan wawasan aku bisa mendapatkan uang. Segera kulihat deadline waktunya dan kuajak salah seorang rekanku yang juga bersemangat mengikuti lomba-lomba serupa ini. “Ma, Angga akan buktikan bahwa Angga mampu membantu keluarga!”

Senin, 13 Juni 2011

MERAJUT MIMPI, MEMBANGUN ASA, MENGGAPAI CITA (Part 2)


KEHIDUPAN DI BALI: AWAL MULA JATUH-BANGUN

Singkat cerita aku, kakakku dan ibuku pindah ke Denpasar pada akhir tahun 1997 saat aku menginjak bangku kelas 3 SD. Berkat pertolongan Allah akhirnya ibu mendapatkan pekerjaan yang lebih layak di sebuah kantor penyimpanan dan pengolahan ikan Tuna di Benoa sebagai seorang karyawan di bagian penyimpanan. Sementara ayah tiriku bekerja di sebuah kapal penangkap ikan tuna.

Melalui rezeki yang diberikan itu aku dan kakakku berhasil menyelesaikan jenjang SD dengan baik. Aku sempat menjadi peraih NEM tertinggi disekolahku saat itu. Meskipun hanya peringkat ke-6, tapi rasanya sangat memuaskan bisa memberikan yang terbaik. Selama masa-masa itu kehidupan kami terasa sangat mudah. Pekerjaan sampingan membuka usaha catering kecil-kecilan memang menjadi sebuah jalan kemudahan bagi kami hingga kami lulus SMP.

Semua itu berjalan dengan sangat membahagiakan hingga pada akhirnya keadaan menjadi kian memburuk saat aku mulai meninggalkan bangku kelas 1 SMA. Perusahaan tempat ibu bekerja gulung tikar akibat isu internal. Sementara itu penyakit Diabetes mellitus (baca: kencing manis) yang sudah menggerogoti ayah sejak aku SMP mulai mengganas. Ayah mulai sakit-sakitan hingga akhirnya ia tak bisa melanjutkan lagi pelayaran bersama rekan-rekannya untuk mencari ikan. Otomatis suplai finansial keluarga menjadi berkurang drastis. Belum lagi biaya kontrakan yang melambung, biaya pendidikan yang meningkat pesat baik di sekolahku maupun ditempat kakakku bersekolah. Sedangkan kebutuhan finansial kami hanya didukung oleh usaha catering kecil-kecilan milik ibu.

Setiap pekan sekali ayah harus pergi berobat ke dokter dan dibutuhkan biaya yang tidak murah. Sekali kunjungan saja bisa menghabiskan uang Rp 150.000,00. Belum lagi obat yang harus ditebus rata-rata seharga 200 ribu setiap kali ambil resep. Biaya pendidikan di sekolahku Rp 350 ribu sebulan. Belum lagi kebutuhan hidup kakak di kota tegal sana yang paling tidak membutuhkan sekitar 900 ribu setiap bulannya. Sementara penghasilan ibu dari catering tidaklah banyak dan tak dapat menutupi seluruh kebutuhan keluarga.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut akhirnya kami menjual aset-aset pribadi yang dimiliki. TeleVisi, sepeda motor, kulkas dan segala yang dinilai berharga kami jual kecuali seperangkat komputer Pentium III yang sudah mulai ketinggalan jaman saat itu. Kata ibu yang diprioritaskan hanya 2 hal saat itu : kesembuhan ayah dan pendidikan kami, putra-putranya. Saat itu roda kehidupan kami kembali berada di titik bawah. Terpaksa kami harus hidup dengan lebih hemat agar kami dapat tetap bertahan dalam keadaan ini.

Aku iba melihat ibu harus menanggung semua derita ini. Ibu harus bekerja hingga larut malam hingga pukul 11. Setiap hari ibu berangkat bekerja bersama rekannya pukul 9 pagi dan harus kujemput antara pukul 10 hingga 11 malam. Ia rela bekerja paruh waktu diluar bekerja utama untuk menambah pemasukan keluarga. Agar ayah tetap dapat berobat, agar kami tetap dapat bersekolah..

Saat itu aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Aku hanyalah seorang anak remaja SMA yang sedang labil. Yang dapat kulakukan saat itu hanya mencoba menerima kenyataan pahit dengan pura-pura tegar. Yang dapat kuperbuat hanyalah menjalankan apa yang ibu anjurkan. Yang aku lakukan hanyalah diam dan tak berdaya. Aku malu atas diriku sendiri!

MERAJUT MIMPI, MEMBANGUN ASA, MENGGAPAI CITA

Semua ini bermula dari sebuah keinginan yang menggebu-gebu untuk terus menerus belajar dan belajar dan menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Meskipun sebenarnya sangat sulit bagiku untuk bisa mewujudkan harapan itu. Mengingat aku bukanlah berasal dari keluarga mampu yang memiliki anggaran pendidikan yang cukup. Latar belakang pendidikan keluargaku pun tak sejalan dengan cita-citaku yang begitu tinggi: guru besar.

Adanya ketidakpercayaan dan hinaan yang dilontarkan oleh tetangga-tetanggaku di desa kepada keluargaku karena kemiskinan kami mungkin juga menjadi salah satu pemicu hingga saat ini untuk membuktikan kepada mereka bahwa kemiskinan dan latar beakang pendidikan yang rendah bukanlah penghambat bagi seseorang untuk dapat melangkah maju. Maklum lah, image (baca: gambaran) keluarga yang tinggal di rumah berdinding bambu dan beralas semen seadanya di tepian sawah, dipelosok kampung di sudut kota jember memang identik dengan kemiskinan. Tapi maaf, kami kaya akan semangat hidup!

Berlandaskan semangat itulah akhirnya aku terus melangkah menjalani pendidikan dasar. Entah darimana datangnya, rezeki itu selalu ada. Dengan hanya bermodalkan berjualan kacang othok (jawa: kacang kedelai yang digoreng lalu diberi bumbu) yang dibungkus dengan plastik kiloan dan dijual di kantin-kantin sekolah ibuku mampu mengantarkan anaknya hingga setengah masa SD.

Masih segar dalam ingatanku, pada saat pertama kali Ibu membuat kacang othok untuk dijual di kantin sekolah. Setiap malam sekitar jam 2, ketika aku terjaga dari tidurku kulihat ibu sedang terduduk sambil terduduk di sudut kamar ditemani sebongkah lilin. Awalnya aku heran apa yang dilakukannya tengah malam begini. Padahal kemarin rasanya ia ngelonin (Jawa: menemani tidur) aku dan kakakku. Tampak setoples besar kacang kedelai yang telah diberi bumbu di sebelah ibu. Kulihat dirinya sedang memegang plastik panjang yang telah diisi kacang lalu membakar sebagian plastiknya agar plastik itu tertutup rapat. Awalnya aku tak tau apa yang sedang dilakukan ibu. “Ma, lagi ngapain?”, tanyaku polos. “Ini lagi mbungkus kacang othok.” Jawabnya sambil tak melihat ke arahku. “Udah, angga tidur aja… ngapain bangun malem-malem gini.” Tanyanya kembali. “Pengen pipis, ma.” Jawabku sambil menguntai senyum manja. Gigi-gigi ompongku mencuat keluar seolah menyampaikan pesan pada ibu, “Anterin angga ke jedhing (Jawa: Kamar mandi).” Lalu ia raih tanganku dan antarkan diriku ke kamar mandi.

Esok paginya, sebelum Ibu berangkat ke kantor Asuransi tempat ia bekerja, ibu menyuruhku membawa sebungkus kresek besar berisi kacang othok yang telah dibungkus semalaman ke sekolah. Ia berpesan padaku untuk menyerahkan kacang ini ke petugas kantin di SDN Kepatihan II, tempatku bersekolah. Dengan polosnya aku penuhi permintaan Ibu. Meski aku tak tahu untuk apa Ibu menyuruhku seperti itu. Belakangan, ketika aku SMP baru aku menyadari bahwa ibu rela bangun malam-malam, membuat kacang othok, membungkusnya dan menyuruhku menitipkan di kantin sekolah adalah untuk menambah penghasilan dan membiayai kehidpan keluarga kami. Maklum, ibu dan ayah telah bercerai sejak aku berumur 3 tahun dan beban keluarga sepenuhnya ditanggung oleh ibu sejak saat itu. Termasuk biaya sekolahku dan kakakku.