Sejarah telah menorehkan begitu banyak jejak-jejak kehidupan umat manusia. Sejarah telah mencatat rekam jejak kehidupan manusia-manusia penting yang memberikan pengaruh besar terhadap sepak terjang dinamika kehidupan umat manusia. Tentang sosok tokoh-tokoh besar seperti Muhammad SAW, Isaac Newton, Agustus Caesar, Napoleon Bonaparte, Thomas Alfa Edisson, Albert Einstein, dan sederetan nama lainnya yang tak akan pernah habis jika disebutkan satu persatu[1]. Namun tidak hanya itu. Sejarah juga telah berbicara tentang beragam peristiwa yang telah terjadi sejak dimulainya peradaban-peradaban kuno suku aztec, maya, india, inca dan sebagainya hingga saat ini : peradaban informasi dan teknologi.
Ada yang menarik dibalik sejarah kehidupan manusia ini. Jika ditelusuri lebih mendalam, ada sebuah hal yang memiliki andil sangat besar didalam perputaran roda peradaban kehidupan itu : sains. Suatu bidang kajian yang lahir dari pemikiran-pemikiran para filsuf. Sains telah membuat peradaban kehidupan manusia saat ini menjadi jauh lebih sederhana, lebih mudah dan lebih praktis dibandingkan saat sains belum berkembang. Dahulu kala, kehidupan manusia sangat terbatas untuk dapat dilakukan dalam rentang waktu 24 jam. Dengan dikembangkannya sains dan ditemukannya bola lampu dan listrik, maka saat ini hampir seluruh manusia dapat lebih leluasa dalam melakukan aktivitasnya. Dengan berkembangnya sains, kini manusia dapat berbicara satu sama lainnya ditempat yang berbeda dengan waktu yang sama. Dengan berkembangnya sains, kini manusia tidak perlu repot-repot melakukan perjalanan hingga 1 bulan untuk dapat sampai ke negara tetangga, cukup 1 jam saja.
Tidak hanya itu, adanya sistem perancangan bangun, pembuatan jalan layang, sistem transportasi, komunikasi, kesehatan, kedokteran, dunia medis dan sebagainya telah mengubah sejarah kehidupan manusia. Namun, benarkah hanya itu peran sains dalam kehidupan dan lembar sejarah umat manusia? Tidakkah sains berperan penting dalam hal-hal lainnya?
Disebuah halaman dalam lembaran sejarah manusia, tertoreh kisah seorang Pemimpin Besar berkebangsaan italia yang saat itu berhasil menaklukkan hampir seluruh daratan eropa.[2]. Sebuah kisah tentang kehidupan beliau yang berakhir dengan mengenaskan. Fakta sejarah di masa-masa awal kematiannya mencatat bahwa Napoleon Bonaparte, seorang pemimpin yang telah berkiprah dalam dunia kemiliteran sejak berumur 14 tahun itu meninggal akibat penyakit kanker lambung yang dideritanya.
Berita kematian Napoleon ini awalnya dianggap biasa saja selama lebih kurang beberapa tahun berlalu sejak kepeninggalannya. Namun sejak diterbitkannya buku berjudul ”Memoriam De Marchand” karya De Marchand, pengawal pribadi Napoleon Bonaparte saat itu di awal tahun 1955, tragedi kematian Napoleon mulai terungkap sedikit demi sedikit. Informasi-informasi bagaimana keseharian Napoleon Bonaparte sejak ia mulai merasakan sakit dan gejala-gejala aneh tertulis dalam buku tersebut. Hal ini membuat salah seorang dokter gigi berkebangsaan Swedia bernama Sten Forshufvud, pengagum Napoleon Bonaparte tertarik untuk menyelidiki fakta sejarah yang janggal : Napoleon wafat karena terkena kanker lambung. [3]
Berangkat dari fakta-fakta yang tercatat dalam buku tersebut Sten mulai menyelidiki apa penyebab sebenarnya kematian idolanya. Ia menyelidiki gejala-gejala yang dialami oleh Napoleon saat pertama kali ia merasakan sakit. Ia mempelajari kehidupan Napoleon melalui buku berjudul ”Memoriam De Marchand” dan dari referensi-referensi lainnya. Dari informasi-informasi yang didapatkan, Sten menilai tidak mungkin Napoleon wafat karena mengalami kanker lambung, sebab gejala-gejala yang tampak dalam diri Napoleon saat itu tidaklah sama dengan gejala-gejala yang dialami oleh seseorang yang terkena kanker lambung. Dari situlah kecurigaan Sten muncul bahwa Napoleon wafat karena alasan lain.
Ia melanjutkan penelitiannya dengan terus mencocokkan gejala-gejala yang dialami Napoleon dengan gejala-gejala penyakit lainnya melalui informasi yang bisa ia dapatkan saat ini. Akhirnya dengan melalui serentetan analisis yang cukup panjang, Sten berpendapat bahwa kemungkinan besar Napoleon keracunan Arsen sehingga ia meninggal dunia.
Ilustrasi Keadaan Menjelang Napoleon Bonaparte Wafat
Untuk membuktikan pendapatnya tersebut, Sten memerlukan sebuah bukti nyata berupa barang atau apapun yang terkait dengan hipotesisnya tersebut. Awalnya ia ingin menganalisis sesuatu dari mayat Napoleon yang sampai saat ini tersimpan dengan rapi disebuah museum. Namun pihak museum tidak mengizinkannya untuk melakukan hal tersebut. Akhirnya ia mencoba untuk menganalisa sampel rambut Napoleon yang masih disimpan oleh beberapa keturunan kolega dari Napoleon yang masih hidup. Sebab, berdasarkan informasi yang didapatkan Sten dari sebuah referensi, orang yang keracunan Arsen rambutnya akan mengandung Arsen dalam jumlah yang berlebih.
Dengan terbatasnya teknologi analisis yang ada saat itu, Sten tidak dapat membuktikan hipotesisnya. Sebab, ia memerlukan banyak sampel rambut Napoleon sehingga ia dapat menganalisis kadar arsen di laboratorium. Sedangkan sampel rambut yang ia miliki hanya beberapa helai saja. Penelitian Sten terhenti untuk beberapa waktu saat itu.
Sten memutar otak, mencari metode analisis arsen yang tepat saat itu. Akhirnya ia memutuskan untuk mengirimkan sampel rambut yang ia miliki ke salah satu rekannya yang bekerja di laboratorium Nuklir di Inggris. Dengan menembaki sampel menggunakan neutron, kadar arsen dapat dianalisis.
Dari hasil analisis yang dilakukan, ternyata terbukti bahwa kadar Arsen dalam rambut Napoleon Bonaparte 40 kali lebih banyak dari kadar normalnya. Dengan adanya data ini, ia memiliki alasan yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa hipotesisnya benar. Namun tidak cukup kuat untuk dapat membuat banyak orang percaya akan hasil temuannya itu.
Sten memerlukan lebih banyak rambut sehingga pembuktian hipotesisnya dapat lebih dipercaya. Oleh karena itu, ia mencoba untuk mempublikasikan hasil temuannya di sebuah jurnal ilmiah. Berharap para pemilik rambut Napoleon Bonaparte – yang didapatkan dari Napoleon Bonaparte secara lagsung dan diwariskan kepada keturunannya – membaca jurnal tersebut dan memberikan warisan rambut yang dimilikinya diberikan kepada Sten untuk dianalisis.
Bintang harapan Sten bersinar terang saat itu, harapannya terwujud. Ia mendapatkan akses untuk manganalisis rambut Napoleon Bonaparte yang tersebar dibeberapa wilayah di daratan Eropa saat itu. Bahkan beberapa helai rambut didapatkan dari sebuah keluarga yang mewarisi rambut itu di daratan Amerika.
Seketika itu juga Sten langsung menganalisis semua sampel rambut yang dimilikinya. Sten beruntung. Perkembangan sains dan teknologi saat itu melahirkan sebuah metode Analisis Spektrofotometri yang memudahkan sten dalam menganalisis seluruh sampel rambut yang dimiliki. Sehingga analisis arsen dalam rambut yang dilakukan lebih mudah dan lebih menghemat waktu.
Analisis yang dilakukan memberikan hasil yang mengejutkan. Hampir seluruh rambut Napoleon Bonaparte yang dianalisis memiliki kandungan Arsen melebihi jumlah yang sewajarnya. Fakta ini memperkuat hipotesis Sten bahwa Napoleon Bonaparte memang wafat karena keracunan arsen, bukan karena mengidap kanker lambung.
Lebih jauh lagi, Sten menduga bahwa Napoleon diracuni arsen oleh seseorang. Sebab tidak mungkin jika arsen dalam tubuh itu berasal dari luar (radiasi,dsb), karena Napoleon tidak banyak berinteraksi dengan radiasi-radiasi serupa. Hal ini diperkuat dengan adanya bukti-bukti yang tertulis dalam catatan harian De Marchand, pembantu setia Napoleon.
Hasil temuan Sten ini ia publikasikan dan mendapatkan respon yang mengejutkan masyarakat luas. Sedemikian hingga akhirnya sebuah catatan penting dalam lembaran sejarah peradaban manusia dicoret dan digantikan dengan fakta sejarah yang baru saja terungkap: Napoleon Bonaparte tidak mati karena mengidap Kanker Lambung, melainkan karena keracunan arsen.
Ada hal yang sangat menarik dibalik kisah penyelidikan drama kematian Napoleon Boaparte ini. Bahwa sebenarnya sains memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah kehidupan umat manusia. Bahwa sains adalah saksi bisu sejarah peradaban manusia yang kebenarannya tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dengan perkembangan sains dan teknologi yang ada, fakta-fakta sejarah yang telah ada dapat diungkap kebenarannya. Sains dapat mengupas fakta sejarah yang ada dan mengoyak-oyak kebohongan yang ada dibalik itu semua, sebab sains adalah pihak yang netral. Sains adalah fakta yang tidak dapat ditawar-tawar lagi keberadaannya.
Namun ternyata, peran sains tidaklah cukup untuk dapat merubah sejarah dunia. Sains tidak akan dapat merubah sejarah peradaban ketika tidak ada Ilmuan yang menggunakan sains itu dengan baik. Sebab sains hanyalah sebuah media atau peralatan untuk dapat mengungkapkan fakta yang ada. Sesungguhnya Ilmuan-lah, yang merupakan aktor dibalik pengungkapan fakta yang ada dengan menggunakan sains.
Ilmuan-ilmuan ini lah yang telah berhasil mengubah sejarah kehidupan manusia hingga saat ini. Sten Forshufvud hanyalah salah satu contoh ilmuan yang berhasil mengubah sejarah dunia. Masih banyak ilmuan-ilmuan lainnya yang berjasa dan berperan dalam peradaban umat manusia. Seperti Isaac Newton yang mengusung teori gravitasi. Tanpa teorinya yang diilhami sebuah apel yang jatuh itu, tentu tidak akan ada peradaban seperti saat ini. Demikian halnya dengan Einstein. Tanpa teori relativitasnya, tentu teknologi yang ada saat ini masih teknologi zaman batu. Belum lagi upaya-upaya yang dilakukan oleh Thomas Alfa Edison yang melakukan seribu penelitian hingga diciptakannya lampu pijar untuk pertama kalinya. Jika saja saat itu Thomas Alfa Edisson malas-malasan dan berhenti melakukan penelitian, tentu sangat memungkinkan saat ini kita akan terus menerus hidup dalam kegelapan saat malam hari.
Namun demikian, perubahan besar dalam peradaban melalui karya-karya ilmuan-ilmuan ini tentunya tidaklah mudah. Mereka harus mengalami serangkaian proses perjuangan yang begitu berat sedemikian hingga ilmu yang mereka miliki dapat bermanfaat bagi orang banyak dan merubah sejarah peradaban manusia. Mereka ditimpa begitu banyak cobaan dan rintangan. Bahkan kematian pun bisa menjadi ujian terberat bagi mereka. Seperti contohnya Galileo-Galilei, ilmuan abad ke 15 yang hidupnya berakhir di tiang gantung karena ia mempertahankan argumennya bahwa bumi itu bulat, bukan bundar dan pipih seperti apa yang diyakini oleh para pendeta gereja di eropa saat itu. Lain halnya dengan Marie Curie yang harus wafat akibat kanker karena ia terlalu banyak terkena paparan radiasi polonium. Namun kematiannya itu terbayarkan oleh teknologi radiologi yang digunakan oleh banyak orang diseluruh penjuru dunia saat ini.
Oleh sebab itu, tidak berlebihan rasanya jika para ilmuan yang kebanyakan mengurung dirinya di laboratorium, bekerja dibalik meja-meja kerjanya diberi julukan Pahlawan dalam kesunyian. Sebab dibalik kesunyiannya itulah ditemukan fakta-fakta penting, gagasan-gagasan revolusioner, dan ide-ide yang mampu membuat sebuah catatan sejarah tentang peradaban kehidupan manusia. Yang mampu membuat kehidupan manusia menjadi jauh lebih berarti.
Jadi, bersediakah kita menjadi ilmuan yang bekerja dalam kesunyian untuk sebuah peradaban umat manusia yang lebih mulia?
0 komentar:
Posting Komentar