Kamis, 22 November 2012

Mau dapet lebih tapi ga mau ngelakuin lebih? NGIMPI!!



Baru-baru ini saya tumbang dan tak bisa beraktivitas selama beberapa hari. Cuaca yang buruk selama sepekan terakhir memang sangat mendukung banyak warga Bandung untuk jatuh sakit. Awalnya hanya radang tenggorokan biasa, tapi entah kenapa jadi menjalar kemana-mana. Ya demam lah, ya diare lah, ya magh lah dan sebagainya dan sebagainya. 

Tepat beberapa saat dalam istirahat saya, ibu menelpon dan menanyakan kabar saya. Lalu saya jawab apa adanya sesuai dengan apa yang saya rasakan saat itu. Yang pada awalnya ibu berbicara dengan nada datar seperti biasanya tiba-tiba berubah jadi omelan-omelan tanda kekhawatiran yang menurut saya agak berlebihan. “…. Kamu ini kerja diforsini, bla bla bla bla….”, baru saja saya mau berargumen ibu sudah menyambut lagi, “…. Nanti klo sampe kamu masuk rumah sakit, la la la la la…” dan akhirnya saya hanya mampu menjawab dengan 3 kata: iya, siap dan oke yang divariasikan sesuai dengan kebutuhan. Hehehe…
Saya paham dengan kekhawatiran ibu pada putra bungsunya yang gendut ini. Dan saya sangat menghargai semua nasehat maupun ocehan beliau. Saya lakukan setiap saran & nasehat yang mampu saya lakukan. Mungkin memang ibu se-cemas itu dengan saya, namun terus terang saya lebih khawatir lagi dengan masa depan saya. Ada 2 alasan bagi saya mengapa saya selalu memforsir untuk bekerja lebih dari 12 jam sehari, melebihi standar waktu kerja kebanyakan orang: impian dan kekhawatiran. Impian saya di masa mendatang tentang kehidupan generasi mendatang dan kekhawatiran saya akan sebuah ancaman kematian.

Hal lain yang menjadi inspirasi bagi saya adalah kisah para generasi pendahulu yang telah mendulang keberhasilan. Dari yang saya pelajari, ternyata ada satu pola yang berulang dalam kehidupan orang-orang yang sukses: Go Extra Miles! Alias bekerja melebihi standar rata-rata. Jika kebanyakan orang hanya bekerja 8 jam sehari, mereka berusaha mati-matian bekerja lebih dari 8 jam sehari. Jika kebanyakan orang hanya berani melakukan apa yang kira-kira bisa mereka lakukan, orang-orang sukses ini justru berani melakukan apa yang kira-kira tidak bisa mereka lakukan dan ternyata mereka bisa!

Seperti yang diceritakan oleh dosen pembimbing saya yang dulunya menyelesaikan program master dan doktoralnya di Tokyo Institute of Technology, Jepang. Ternyata kebanyakan orang-orang di Jepang yang memiliki prestasi tinggi bekerja lebih dari waktu kerja standar kebanyakan orang. Dosen saya berkisah, biasanya orang-orang Jepang itu standar bekerjanya 10 jam per hari. Masuk tempat bekerja jam 9 pagi dan baru keluar biasanya jam 7 malam. Tapi tidak sedikit juga para akademisi Jepang yang bekerja hingga larut malam. Ada yang jam 9 malam baru pulang, ada yang jam 11 bahkan ada yang dengan sengaja pulang saat kereta terakhir beroperasi yaitu jam 1 pagi.

Belum lagi kisah orang-orang terdekat yang saya nilai berhasil. Setelah saya amati, ternyata pola ini berulang juga pada kehidupan mereka. Mereka tidur lebih larut malam, mereka bangun jauh lebih pagi. Disaat kebanyakan teman-temannya bermain ia justru menyibukkan dirinya dengan banyak aktivitas. Mulai dari berorganisasi, bekerja paruh waktu, belajar, melakukan eksperimen di laboratorium, mengikuti pelatihan ini-itu dan sebagainya. Yang jelas mereka melakukan sesuatu lebih daripada apa yang orang lain lakukan.

Saya jadi semakin menyadari bahwa Go Extra Miles itu sangatlah penting untuk dilakukan. Tidak hanya dari segi waktu bekerja, tetapi juga dari segi keberanian dalam melakukan hal-hal yang tidak biasa orang lain lakukan, keberanian dalam melakukan hal-hal yang sebagian besar orang lain takut melakukan hal tersebut, keberanian dalam melakukan hal-hal yang menurut orang banyak mustahil untuk dilakukan.

Bukankah hidup kita ini ibarat cerminan dari apa yang kita lakukan?
Maka untuk apa kita berharap mendapatkan lebih jika kita tak ingin melakukan lebih?


Selasa, 20 November 2012

Menulis, menginspirasi dunia dengan kata


Alhamdulillah…. Akhirnya (mau) dan bisa posting lagi di blog setelah setaun lebih ga nge-blog. Terus terang keinginan untuk melanjutkan tulisan-tulisan terdahulu itu muncul gara-gara ketemu sama bunda helvy tiana rose di acara Forum Indonesia Muda akhir oktober lalu dan habis baca bukunya mbak Sofie Beatrix yang judulnya “Kitab Writerpreneur. Jangan (TAKUT) jadi penulis!” pagi ini.

Rasanya darah penulis dari ibu yang mengalir dalam tubuh saya ini mulai bergejolak dan mulai meronta-ronta meminta saya menekan tuts-tuts mungil di laptop untuk menuangkan gagasan-gagasan yang muncul dalam benak saya. Keinginan ini diperkuat juga dengan komentar beberapa teman yang meminta saya menuliskan pembelajaran-pembelajaran yang saya dapatkan dalam bentuk sebuah tulisan lengkap. Mungkin mereka merasa gerah dengan tulisan yang saya sampaikan sepotong-sepotong melalui kultwit di akun twitter saya.

Adanya pesan-pesan itu membuat keinginan saya untuk berbagi dari hari ke hari semakin kuat dan membangkitkan lagi salah satu impian saya yang entah sejak kapan terkubur dan terpendam: menjadi jalan inspirasi bagi kehidupan banyak orang. Saya masih ingat betul. Poin ke 73 dalam daftar impian saya adalah menjadi jalan inspirasi bagi kehidupan melalui deretan tulisan yang lahir dari perjalanan kehidupan banyak orang.

Rangkaian kejadian selama 1 tahun terakhir membuat saya semakin berdosa dan merasa menjadi seorang yang munafik. Saya punya impian pengen menginspirasi orang melalui buku, tapi…. Ko ga pernah nulis?Mana mungkin bukunya klo ga pernah nulis?? Masih terngiang di kepala saya pesan bunda helvy, penulis inspirasional yang sejak usia 6 tahun sudah terbiasa dengan dunia baca-tulis, “Hidupmu adalah sejarah, dan karyamu yang aan mempertahankannya!”. Dan tulisan adalah salah satu bukti sejarah bahwa kita memang pernah ada di dunia ini, dengan seluk beluk gagasan dan pengalaman kehidupan yang kita dapatkan.

Hati saya semakin tergerak saat membaca tulisan Novilia Lutfiatul, seorang mahasiswi yang menjadi korban kecelakaan maut di jawa tengah dua pekan lalu yang ternyata juga seorang blogger (penulis). Ia meninggalkan sebuah karya terakhir dalam tulisannya yang berjudul “Dosen Tak Bernyawa” beberapa saat sebelum tragedi naas itu menimpa dirinya. Dalam tulisan itu ia menceritakan tentang datangnya ajal yang tak pernah diduga, tentang kematian yang pasti datang namun tak pernah tau kapan kan disangka.  Lalu kemudian peristiwa itu tiba. Ia mengingatkan kita tentang makna sebuah kematian. Ia menginspirasi manusia untuk siap menghadapi ajal kapanpun ia kan datang. Itu adalah karyanya, itu adalah jejak kehidupannya.

Belum lagi Tetsuko kuroyonagi yang telah menginspirasi jutaan manusia di seluruh belahan dunia tentang sistem pendidikan bagi anak-anak melalui karyanya, “Totto-chan, The little girl at the window.” Yang saat ini telah menjadi buku international best seller . Tidak hanya itu, sejak diterbitkannya buku itu hingga saat ini sudah ada banyak kebijakan tentang pendidikan yang diubah di berbagai negara hanya karena terinspirasi oleh kisah Totto-chan yang memiliki rasa keingintahuan yang begitu tinggi.
Saya jadi berpikir, bahwa suatu tulisan bukan hanya sekedar deretan kata tak bermakna yang tak bisa membuat perubahan apa-apa. Justru tulisan adalah salah satu cara paling ampuh untuk mengubah dunia. Mengubah dunia hingga memiliki sebuah pemikiran, sebuah gagasan yang kita anut.

Itu sebabnya saat ini saya jadi termotivasi kembali  untuk kembali menulis dan mengasah lagi kemampuan saya dalam merangkai kata dan menjadikannya kalimat-kalimat penuh makna. Dan berharap suatu saat nanti huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat dan paragraf demi paragraf yang saya susun menjadi sebuah rangkaian tulisan ini akan menjadi saksi di hari akhir kelak bahwa saya pernah hidup di dunia ini dengan membawa kebaikan-kebaikan yang akan mengantarkan saya dalam kehidupan di syurga. Aamiin.