Baru-baru ini saya tumbang dan tak bisa beraktivitas selama
beberapa hari. Cuaca yang buruk selama sepekan terakhir memang sangat mendukung
banyak warga Bandung untuk jatuh sakit. Awalnya hanya radang tenggorokan biasa,
tapi entah kenapa jadi menjalar kemana-mana. Ya demam lah, ya diare lah, ya
magh lah dan sebagainya dan sebagainya.
Tepat beberapa saat dalam istirahat saya, ibu menelpon dan
menanyakan kabar saya. Lalu saya jawab apa adanya sesuai dengan apa yang saya
rasakan saat itu. Yang pada awalnya ibu berbicara dengan nada datar seperti
biasanya tiba-tiba berubah jadi omelan-omelan tanda kekhawatiran yang menurut
saya agak berlebihan. “…. Kamu ini kerja diforsini, bla bla bla bla….”, baru
saja saya mau berargumen ibu sudah menyambut lagi, “…. Nanti klo sampe kamu
masuk rumah sakit, la la la la la…” dan akhirnya saya hanya mampu menjawab
dengan 3 kata: iya, siap dan oke yang divariasikan sesuai dengan kebutuhan.
Hehehe…
Saya paham dengan kekhawatiran ibu pada putra bungsunya yang
gendut ini. Dan saya sangat menghargai semua nasehat maupun ocehan beliau. Saya
lakukan setiap saran & nasehat yang mampu saya lakukan. Mungkin memang ibu
se-cemas itu dengan saya, namun terus terang saya lebih khawatir lagi dengan
masa depan saya. Ada 2 alasan bagi saya mengapa saya selalu memforsir untuk
bekerja lebih dari 12 jam sehari, melebihi standar waktu kerja kebanyakan orang:
impian dan kekhawatiran. Impian saya di masa mendatang tentang kehidupan generasi
mendatang dan kekhawatiran saya akan sebuah ancaman kematian.
Hal lain yang menjadi inspirasi bagi saya adalah kisah para
generasi pendahulu yang telah mendulang keberhasilan. Dari yang saya pelajari,
ternyata ada satu pola yang berulang dalam kehidupan orang-orang yang sukses: Go
Extra Miles! Alias bekerja melebihi standar rata-rata. Jika kebanyakan orang
hanya bekerja 8 jam sehari, mereka berusaha mati-matian bekerja lebih dari 8
jam sehari. Jika kebanyakan orang hanya berani melakukan apa yang kira-kira
bisa mereka lakukan, orang-orang sukses ini justru berani melakukan apa yang
kira-kira tidak bisa mereka lakukan dan ternyata mereka bisa!
Seperti yang diceritakan oleh dosen pembimbing saya yang
dulunya menyelesaikan program master dan doktoralnya di Tokyo Institute of
Technology, Jepang. Ternyata kebanyakan orang-orang di Jepang yang memiliki
prestasi tinggi bekerja lebih dari waktu kerja standar kebanyakan orang. Dosen saya
berkisah, biasanya orang-orang Jepang itu standar bekerjanya 10 jam per hari.
Masuk tempat bekerja jam 9 pagi dan baru keluar biasanya jam 7 malam. Tapi
tidak sedikit juga para akademisi Jepang yang bekerja hingga larut malam. Ada
yang jam 9 malam baru pulang, ada yang jam 11 bahkan ada yang dengan sengaja
pulang saat kereta terakhir beroperasi yaitu jam 1 pagi.
Belum lagi kisah orang-orang terdekat yang saya nilai
berhasil. Setelah saya amati, ternyata pola ini berulang juga pada kehidupan
mereka. Mereka tidur lebih larut malam, mereka bangun jauh lebih pagi. Disaat
kebanyakan teman-temannya bermain ia justru menyibukkan dirinya dengan banyak
aktivitas. Mulai dari berorganisasi, bekerja paruh waktu, belajar, melakukan
eksperimen di laboratorium, mengikuti pelatihan ini-itu dan sebagainya. Yang
jelas mereka melakukan sesuatu lebih daripada apa yang orang lain lakukan.
Saya jadi semakin menyadari bahwa Go Extra Miles itu
sangatlah penting untuk dilakukan. Tidak hanya dari segi waktu bekerja, tetapi
juga dari segi keberanian dalam melakukan hal-hal yang tidak biasa orang lain
lakukan, keberanian dalam melakukan hal-hal yang sebagian besar orang lain
takut melakukan hal tersebut, keberanian dalam melakukan hal-hal yang menurut
orang banyak mustahil untuk dilakukan.
Bukankah
hidup kita ini ibarat cerminan dari apa yang kita lakukan?
Maka untuk apa kita berharap mendapatkan lebih jika kita tak ingin melakukan lebih?
Maka untuk apa kita berharap mendapatkan lebih jika kita tak ingin melakukan lebih?