Rabu, 27 Januari 2010

Cinta kepada Allah?


Segala sesuatunya bermula dari Allah.
Segala sesuatu di dunia ini akan terjadi dengan kehendak Allah
Jika ia berkehendak, ia tinggal mengatakan : Jadilah, maka jadilah sesuatu itu.
Segala sesuatu yang mungkin menjadi tidak mungkin ketika Allah berkehendak demikian.
Dan segala sesuatu yang tidak mungkin akan menjadi mungkin jika Allah berkehendak.


Seseorang tidak akan mendapatkan syafa’at-Nya jika Ia tak berkehendak
Seseorang tidak akan mendapatkan kebaikan jika Ia tidak berkehendak
Dan seseorang tidak akan mendapatkan hidayah jika Ia tidak berkehendak.


Sehebat apapun seni kita dalam berda’wah,
Semenarik apapun pembawaan da’wah kita,
Seindah apapun kata-kata yang terlontar dari bibir kecil kita
Selihai apapun kita mengajak orang untuk berbuat kebaikan
Seapik apapun kita menggunakan berbagai macam metode dalam berda’wah
Tidak akan mendapat manfaat apapun bagi penerima da’wah itu jika Allah tidak mengizinkannya


Semua akan tergantung pada izzah para pelaku da’wah itu sendiri
Semuanya akan tergantung seberapa ikhlas para pelaku da’wah itu terhadap Rabbnya,
untuk tetap berpegang teguh dan kokoh di jalan ini


Tugas kita hanyalah penyampai risalah
Tugas kita adalah mengajak
Sisanya, serahkan pada Allah yang Maha berkehendak


Namun hal itu bukan berarti kita melakukan da’wah itu seadanya
Justru karena hal itu, kita harus senantiasa meningkatkan kualitas kita dalam berda’wah
Caranya? Tentu saja dengan mengakselerasi diri untuk senantiasa memperbaiki diri dari waktu ke waktu
Dengan terus menerus mencharge kondisi ruhiyah kita
Sebab hal itulah bahan bakar kita yang paling utama : MENUJU ALLAH


Tidakkah kita ingat akan janji Allah dalam salah satu Hadist Arbain ke 38 yang isinya :
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anh, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam “Sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman : ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya. Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (perbuatan) yang Aku sukai seperti bila ia melakukan yang fardhu yang Aku perintahkan kepadanya. Hamba-Ku senantiasa (bertaqorrub) mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka jadilah Aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, sebagai tangannya yang ia gunakan untuk memegang, sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti akan Aku berikan kepadanya."


Maka dari itu, jika kita sudah dekat dengan-Nya, jika kita sudah sedemikian mencintai-Nya, setiap apa yang kita lakukan akan senantiasa diliputi oleh Allah Swt. Sang Pemilik Kehidupan.


Sesederhana apapun cara da’wah kita,
Sekecil apapun upaya dalam berda’wah yang kita lakukan,
Semuanya akan memberikan manfaat yang besar bagi da’I dan mad’u
Insya Allah. Karena Allah telah meliputi kita.


Hal inilah yang memberikan kita sebuah kesimpulan :
Bahwa berda’wah harus menggunakan hati
Berlandaskan kecintaan kita kepada Allah Swt
Berdasarkan keinginan yang kuat untuk menggapai keridhaan-Nya

Ditulis untuk mengingatkan diri sendiri
Bahwa sesungguhnya cinta tertinggi hanyalah untuk-Nya.
Ruanganku, 27 Januari 2010



Kamis, 07 Januari 2010

Berharaplah Hanya Kepada Tuhan!

Cerita berawal dari seorang pimpinan kabilah bani Amir yang hidup di lembah Hijaz, Arabia antara Makkah dan Madinah. Syed Omri namanya. Sedemikian besar pengaruh beliau, hingga tersohor sampai ke negeri lain. Beliau sangat kaya raya, bahkan kekayaannya itu mungkin tak kan habis oleh tujuh turunannya. Namun, segala karunia itu masihlah kurang dirasakannya. Karena hingga di usianya yang telah lanjut dia belum juga dikarunia seorang putra, yang kelak bisa melanjutkan tampuk kepemimpinannya.

Setelah berdo’a pada Allah dan bersedekah siang malam. Allah mengaruniakan seorang permata hati yang diharap-harapkannya. Beliau beri nama anak itu ’Qays’.

Kelahiran Qays, membuat semangat Syed Omri bangkit lagi. Ia banyak menghabiskan waktunya di rumah, membimbing dan mengasuh anaknya dengan segenap tumpahan jiwa.

Hari berganti dan tahun berbilang. Qays tumbuh dewasa dan tampan. Dia di sekolahkan pada guru yang bijaksana dan penyabar, guru ini juga menguasai berbagai ilmu. Di majlis ilmu inilah Qays bertemu dengan pujaan hatinya Laila, gadis cantik yang dikaruniai kecerdasan, kefasihan lidah dan kemampuan mengagumkan dalam merangkai madah. Dialah mahkota bangsa Arab.
Qays tidaklah bertepuk sebelah tangan. Laila ternyata menyukainya juga. Pun cinta sudah mengakar pada kedua sejoli, namun tak ada kata-kata rayuan yang keluar, hanya mata yang berbicara. Mereka berdua tak peduli lagi dengan pelajaran.

Angin Arab pun berhembus membawa kisah asmara pada keluarga si gadis yang memesona dan mengikat hati Qays. Orang tua Laila marah besar, bagi mereka ini adalah aib, cinta remaja yang dirasakan Laila dan Qays adalah aib yang mencoreng nama baik keluarga dan kabilahnya. Seketika Laila di pisahkan, dipingit oleh keluarganya dan dilarang bertemu Qays.

Mengetahui hal itu, Qays gelisah, ketika malam tiba ia mulai meninggalkan rumah dan berjalan tak tentu arah. Bibirnya pun mulai melantunkan sajak-sajak kepedihan, sajak yang keluar dari jiwa yang terluka.

Semakin hari jiwa pemuda malang itu semakin parah, ia berjalan dan terus menerus memanggil nama kekasih hatinya ”Laila..Laila..”.
Tindakan yang memanggil nama anaknya itu membuat orang tua Laila marah besar dan malu, karena baginya Qays adalah seorang gila (Majnun), berjalan tak tentu arah, dan menceracau memanggil nama anaknya kesana kemari.

Syed Omri pun turut berduka melihat keadaan anaknya. Maka demi menyembuhkan anaknya dari rasa gelisah luar biasa, Ia dan kabilahnya pun melamar Laila untuk putranya. Namun apa daya, orang tua Laila menolak mentah-mentah. Mereka malu bermenantukan seorang majnun.

Sekali pun telah ditolak oleh keluarga Laila, Majnun tak berubah, ia terus menyebut dan memanggil nama Laila. Dari bibirnya mengalirlah sajak-sajak cinta. Demikian indah sajak cinta Majnun, hingga banyak orang yang mendengarnya turut bersedih.

Laila pun mengalami guncangan keras mengetahui keadaan belahan jiwanya. Ia pun tak jarang menggumamkan sajak cinta dan kerinduannya pada Majnun.
Cinta keduanya begitu kuat, hingga tak ada satu pun yang bisa memisahkan, sekali pun, Laila telah dinikahkan oleh orang tuanya, Laila tetap menjaga kesuciannya. Sekali pun Syed Omri datang mencari anaknya yang dalam pengembaraan dalam keadaan sakit-sakitan demi membujuknya agar bersedia pulang. Majnun tak berubah pada pendiriannya. Hingga kedua orang tua Majnun meninggal, tak ada sesuatu pun yang menggetarkan hati Majnun untuk kembali pada kehidupan normalnya.

Keduanya pun meninggal dengan membawa duka di dalam hati masing-masing..

============ ============== ================

Ya.... itulah kisah yang diceritakan dalam sebuah roman yang begitu dielu-elukan oleh banyak pujangga di dunia ini : Kisah Cinta Laila dan Majnun. Suatu kisah cinta dalam sebuah buku yang telah dicetak diseluruh dunia sejak tahun 1183 hingga saat ini yang mampu membuat setiap hati yang membacanya menitikkan air mata karena kesedihan kisah cinta yang terukir. Tak terbayangkan jika kita berada disalah satu posisi Laila atau Majnun.

Ada suatu hal yang bisa kita pelajari dari kisah yang menyayat hati itu. Arti tentang sebuah pengharapan. Makna dari sebuah harapan akan suatu hal.


Harapan adalah seberkas cahaya yang dapat menerangi kita ketika kegelapan menyelimuti diri. Harapan adalah sebuah alasan yang dapat membuat kita terus berdiri tegar ketika terjangan ombak cobaan dalam kehidupan selalu mencoba untuk menjatuhkan. Harapan merupakan udara disaat nafas kita terengah-engah didalam perjalanan kehidupan. Yang merupakan salah satu sebab, mengapa kita harus tetap tegar dijalan yang kita pilih.
Hanya saja, ternyata tidak semua harapan itu kan terwujud. Tidak semua apa yang kita harapkan akan terjadi, tidak semua harapan akan terjawab. Apa yang terjadi tidak akan selalu seindah apa yang kita bayangkan. Ada begitu banyak hal-hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi.

Ketika kita menggantungkan harapan kita kepada manusia, maka hanya ada 2 hal yang mungkin kita dapatkan : Kebahagiaan, atau kekecewaan. Kebahagiaan akan kita peroleh saat sinar-sinar pengharapan itu berhasil kita genggam, saat tangan itu menyambut tangan kita. Saat-saat indah dimana apa yang kita bayangkan telah menjelma menjadi sebuah kenyataan hidup. Namun sebaliknya, ketika harapan itu tak terwujud maka kekecewaan itu pasti kan hadir, mengunjungi jiwa-jiwa yang termenung oleh harapan-harapan yang kosong. Oleh bayangan-bayangan semu. Yang membawa kita menuju ke lembah kelam tak berpenghuni, membiarkan kita bersimpuh tak berdaya.

Kekecewaan itu terjadi karena kita berharap pada sesuatu yang tidak pasti, sesuatu yang belum jelas keberadaannya. Karena kita berharap pada manusia, dan manusia itu serba tidak pasti. Seperti yang terjadi pada Qays dan Laila dalam cerita yang tersohor itu. Kala itu Qays sangat berharap Laila akan menerima pinangannya. Namun kenyataannya justru berbalik. Apa yang ia harapkan ternyata tak kunjung datang, bahkan hingga saat kematian menjemput mereka berdua.

Semua rasa sakit itu, penyesalan itu, kekecewaan itu datangnya hanya dari 1 hal : kekurang tepatan kita didalam menentukan sandaran hati. Mungkin kita terlalu meletakkan harapan kita begitu tinggi pada makhluk yang disebut manusia.

Itu sebabnya, tak sebaiknya kita berharap pada manusia yang serba tidak pasti. Namun Lain halnya ketika kita menyandarkan diri kepada sesuatu yang pasti benar. Yang janji-Nya tak pernah meleset. Yang Maha Kuat, Yang Maha Berkuasa, Yang Maha Sanggup. Tidak akan ada lagi kata kecewa di hati ketika Tuhan-lah tempat kita bersandar. Ketika kita mengharapkan sesuatu hanya dari-Nya. Kita tidak akan pernah dikecewakan oleh-Nya. Karena IA Maha Lapang, Ia Maha Pemberi, Ia Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Ia akan selalu mendengar do’a dan pengharapan hamba-hamba-Nya.
Ia Maha Pemberi
Ia Maha Lapang
Dan Ia Maha Penyantun
Bisa jadi kita kecewa ketika kita menaruh harapan pada manusia

Namun kita tidak akan pernah kecewa
ketika harapan itu kita gantungkan
Hanya pada Tuhan, yang menggenggam kepastian
Dengan penuh keikhlasan...

Ditulis dengan rasa penyesalan atas diri sendiri
Ruanganku, pertengahan Minggu pertama 2010
Anggayudha A. Rasa


 

Senin, 04 Januari 2010

This Is My 2010. Where’s yours?


”Tahun Baru, semangat baru”. Demikianlah salah satu slogan yang seringsekali kita dengar ketika tahun baru masehi menjelang. Saat semangat kita bagai bara api yang diguyur isooktana (bensin). Begitu menyala-nyala dan seketika itu pula memanaskan udara disekitarnya dengan jilatan apinya.

Semangat-semangat baru yang berkobar ini seringkali hanya berjalan selama beberapa bulan saja, atau bahkan hanya beberapa hari. Ibarat ombak yang berkejar-kejaran, menggulung-gulung, seketika itu ia datang dan seketika itu pula pergi meninggalkan bibir pantai. Semangat baru itu seringkali menurun seiring dengan bertambahnya waktu yang kita lalui. Kian hari, asa itu bukannya semakin muncul, malah justru semakin tenggelam oleh rutinitas yang silih berganti.

Disadari atau tidak, hal ini tentu terjadi bukannya tanpa alasan. Adalah hal yang wajar, ketika semangat itu menjadi pudar, karena termakan oleh rutinitas yang begitu membosankan, karena banyaknya hal yang membuat fokus kita menjadi kian kacau. Namun tidakkah kita mencoba berpikir sejenak, saudaraku?
Semangat yang luntur itu sebenarnya bukan disebabkan kekurang seriusan kita didalam menggapai apa yang menjadi targetan perubahan kita, namun karena ketidak jelasan apa yang sebenarnya kita kejar. Kekaburan kita akan apa yang ingin kita capai lah yang membuat kita menjadi cepat kehilangan semangat.

Ibarat seorang pembeli pembeli buku yang sedang mencari buku pengembangan diri. Ia tak tahu, apa judul buku yang ia akan cari, siapa penulisnya, buku pengembangan diri macam apa yang ia perlukan. Tentang manajemen waktu-kah, manajemen prioritas, psikologi terapan-kah, atau apa?! Ada ribuan macam buku pengembangan diri yang tersedia disaentro bumi ini. Yang manakah ia akan pilih. Yang penulisnya adalah orang terkenal, atau yang penulisnya hanyalah seorang amatiran belaka yang baru pertama kali menulis? Dimanakah ia akan membelinya? Haruskah ditoko buku Impor yang berlantai kaca dan dibayar menggunakan kurs EURO, atau dipasar loak berdinding triplek saja yang dapat dibeli dengan 2 lembar uang lima ribuan? Ia menginginkan buku yang enak dibaca, praktis dan to the point atau ia membutuhkan buku tentang pengembangan diri yang bisa membuat dahi mengkerut, mata terbelalak dan hidung kembang-kempis?
Ia bisa saja berkeliling dunia, menyapa setiap kota dan mengunjungi setiap toko buku, menelusuri secara cermat satu persatu buku yang ada disetiap tumpukan disudut ruangan untuk mendapatkan buku yang benar-benar ia cari dan ia inginkan. Namun tentu ia membutuhkan waktu yang sangat banyak untuk mendapatnyannya. Melebihi waktu yang diperlukan untuk mencari seekor kutu betina berusia 2 hari dibadan seekor gorilla.

Hal itu tentu saja membuat waktu dan energinya terkuras dengan dahsyatnya. Membuat dompet dan tagihan kartu kreditnya membengkak lantaran ongkos perjalanannya mencari buku yang ia cari. Ketidakjelasan itu lambat laun akan membuat ia cepat lelah dan jenuh ketika sedang dalam perjalanan mencari-cari buku yang ia inginkan.

Sama halnya dalam kehidupan ini. Manusia lebih menyukai kepastian yang ada didekatnya, bukan sebuah ketidakpastian yang jauh di awang-awang dalam hidupnya. Kita akan cenderung menyukai dengan sesuatu yang dekat, sesuatu yang praktis sesuatu yang mudah kita dapat, yang ada dipelupuk mata kita. Bukan suatu hal yang terlalu jauh, yang ada diseberang samudra sana, yang masih tidak jelas, yang rasanya sangat sulit kita dapatkan.
Seperti misalnya ketika seseorang diberikan tawaran untuk mengikuti program asuransi senilai 3.65 milyar dengan jangka waktu 10 tahun. Bandingkan dengan tawaran mendapatkan uang 1 juta dalam 1 hari. Meskipun nilai nominal yang akan kita peroleh dalam kurun waktu 10 tahun sama, tentu kita akan lebih memilih mengikuti program 1 hari 1 juta itu dibandingkan harus menunggu selama 10 tahun untuk mendapatkan 3.65 Milyar. Itu sebabnya, didalam hidup ini ketika kita membuat targetan kita harus memulainya dengan membuat terget jangka panjang dan melengkapinya dengan target-target jangka pendek yang realistis untuk kita raih.

Maka dari itu, saudara/i ku.... Mari kita bersama-sama membuat targetan-targetan yang ingin kita wujudkan, baik yang terkait dengan diri kita pribadi, yang terkait dengan ibu, ayah kita, keluarga kita, orang-orang yang kita cintai, saudara-saudara kita, sahabat-sahabat kita, dan orang-orang disekitar kita. Tak perlu membuat targetan yang muluk-muluk, yang terpenting targetan itu jelas dan realistis. Lebih baik membuat targetan yang sederhana, namun tercapai dibandingkan membuat targetan yang melangit namun kita gagal mencapainya.

Marilah kita bersama-sama kita bermimpi akan kehidupan kita 50 tahun mendatang, 25 tahun mendatang, 10 tahun mendatang, dan membangun mimpi-mimpi itu melalui tergetan-targetan kecil yang bisa kita capai saat ini. Melalui hal-hal yang dapat kita capai dalam 1 tahun kedepan, 1 semester kedepan, 1 bulan kedepan, dan 1 minggu kedepan.

Inilah 2010-Ku, kawan....
Inilah yang ingin kuraih ditahun ini


Seperti apa 2010 milikmu?

Bermimpilah setinggi-tingginya,
hingga kita merasa kita tak akan mampu melaksanakannya
Namun segera bangunlah dari mimpi itu
dan wujudkan melalui langkah-langkah kecil kita
Saat ini juga...


Ditulis untuk mengingatkan diri sendiri
Ruanganku, Malam ke 3
bulan pertama tahun 2010
Anggayudha A. Rasa

Minggu, 03 Januari 2010

Ini adalah masa kita, kawan...

Waktu terus berpacu
Menggantikan para pemimpin lama
Dengan jiwa-jiwa pembaharu

Waktu terus berputar,
Menggugurkan daun-daun kering
Dengan tunas-tunas muda yang berpijar

Dan waktu terus bergulir
Menggantikan pemikiran-pemikiran usang
Dengan Gemerlapnya ide-ide cemerlang

Temanteman...
Bagaimanapun, era kepemimpinan ini akan berubah
Tak selamanya yang tua akan berkuasa
Tak selamanya yang muda kan binasa

Kini adalah masa kita kawan
Masa dimana kitalah yang memegang tonggak-tonggak kepemimpinan itu
Menjadikan kehidupan yang lebih bermakna dari sekedar sebuah rutinitas
Menjadikan kehidupan lebih berarti dari sekedar aktivitas harian

Kini adalah masa kita kawan....
Dan inilah saat kita menentukan
Menjadi bagian dari perubahan
Atau menjadi orang-orang yang tergilas roda-roda perubahan

Sabtu, 02 Januari 2010

Seharusnya tak perlu ada hari ibu...

Pagi ini, telepon berdering bersahut-sahutan. Membukakan mata-mata yang menutup, menyadarkan ruh yang tengah bergentayangan, membangunkan jiwa-jiwa yang masih tertidur. Pagi itu suasana begitu sunyi, hingga dering telepon genggam memecah suasana pagi yang damai.

Banyak diantara kita pagi ini yang sedang menelpon seseorang yang begitu istimewa dalam hidupnya : Ibu. Ya, sekedar untuk menanyakan kabarnya dikejauhan sana, mengucapkan selamat hari ibu, memohon maaf karena tak dapat menemani beliau di hari tatkala sang ibu di berbagai penjuru negeri diistimewakan.
Sebagian lainnya yang berkesempatan tinggal dengan orangtuanya memanfaatkan momen ini dengan baik, menyediakan bunga mawar, coklat, atau bingkisan-bingkisan kecil lainnya di meja makan.
Ada juga sebagian yang tak mampu berucap apa-apa kepada ibundanya karena beliau telah tiada di bumi ini. Hanya beberapa untai do’a yang melantun indah di sepertiga malam terakhir, mendo’akan agar amal ibundanya selama beliau hidup diterima Allah Swt.

Ya....Begitu banyak orang yang menghiasi hari ini dengan mengucapkan ’selamat hari ibu’ kepada ibunda tercinta. Hari ini adalah hari yang sangat istimewa. Hari ketika kaum ibu dimuliakan oleh banyak orang. Hari ketika toko kado kehabisan stok kertas kado untuk bingkisan. Hari ketika toko bunga laris kebanjiran pesanan rangkaian bunga untuk sesosok yang kita panggil ibu, bunda, mama, ummi, emak atau sejenisnya.

Namun, sebenarnya perlukan hari ibu ini diadakan? Pantaskah disediakan 1 hari khusus yang begitu mengagungkan ibunda dalam hidupnya dalam setahun? Layakkah beliau hanya mendapatkan ungkapan kasih sayang di hari ini?

Seharusnya hari ini tak perlu ada. Semestinya tak usah kita berepot-repot mencatat tanggal 22 Desember di kalender kita sebagai hari ibu. Seharusnya hari ibu tak hanya setahun sekali. Tidak ada hari khusus yang istimewa untuk ibunda tercinta. Karena sebenarnya setiap hari adalah hari yang istimewa bagi seorang ibu. Karena ibu memang patut kita istimewakan setiap hari. Karena ibu memang layak kita muliakan setiap waktu. Bukan hanya di hari ini saja.

hari ini hanyalah sebuah momentum bagi kita untuk dapat mengungkapkan rasa sayang kita, rasa cinta kita, rasa rindu kita terhadap sosok yang begitu mencintai kita, terhadap sosok yang begitu mengorbankan banyak hal demi kita. Sejak kita masih didalam rahim beliau, semenjak kita bayi, balita, anak-anak, remaja, hingga saat ini kita bisa dalam kondisi seperti ini.
Tapi jangan sampai hanya pada hari ini saja kita menelponnya, memperhatikannya, mencium tangannya dengan penuh takzim, mencium keningnya dengan penuh kasih sayang. Mari kita lakukan hal itu kapanpun Tuhan mengizinkan kita melakukanya.
Mari kita luangkan waktu sejenak saja disela-sela kehidupan kita. Sisihkan beberapa menit saja diantara celah-celah kesibukan kita hanya untuk menelpon dan menanyakan kabarnya.


Karena kita tak akan pernah tau kapan Tuhan kan memanggil ibu, atau kapan ajal kan menjemput kita..
Karena kita tak akan pernah tau kapan Tuhan mengizinkan kita tuk berucap, ” Ibu, aku sayang ibu. Terimakasih atas pengorbanan ibu untukku... Maafkan aku, ibu.... ”

Tuhan... Aku Tak Berdaya!


Pagi ini kuterhenyak oleh sebuah tembang yang dilantunkan oleh salah seorang penyanyi legendaris di indonesia : Ebiet G. Ade. Seorang penyanyi yang memulai karirnya diatas aspal, dipersimpangan jalan, dihadapan lampu merah. Yang memetik gitar usangnya diantara desingan klakson, dibawah terik mentari, diterpa debu-debu kota metropolitan.
Melalui alunan melodinya yang menggetarkan hati ia buatku semakin nista oleh ketidakberdayaanku sendiri di hadapan Tuhanku. Melalui liriknya yang begitu lugas, tajam dan mendalam, ia ingatkanku akan ketidakberdayaan kita sebagai seorang manusia didepan Tuhannya. Betapa kecil diri kita di mata-Nya. Betapa hina kita dipangkuan diri-Nya yang begitu suci, Maha Agung. Betapa rapuhnya diri kita....
Betapa kita tidak berdaya melawan kehendak-Nya.

Aku menjadi kian sadar, sebaik-baik apapun kurencanakan kehidupan ini, tetaplah IA yang mengambil keputusan apa yang layak untukku didunia ini. Jalan terbaik apa yang pantas untukku.

Betapa kusadari, serendah atau setinggi apapun cita dan harap yang kumiliki, semua tak akan terwujud jika ia tidak berkehendak. Semudah apapun hal itu, takkan dapat kulakukan jika IA tak mengizinkannya. Sesulit apapun kulakukan, bahkan semustahil apapun rasanya cita yang ingin kugapai, tentu takkan sulit baginya jika IA menghendaki. Semua ini telah IA atur dalam sebuah pentas sandiwara, dimana kita sebagai penulis naskah dan IA sebagai sutradaranya.
Tinggal bagaimana kita memohon petunjuk kepada-Nya, berdo’a, berusaha, dan menyerahkan kembali hasilnya kepada-Nya.

Aku jadi teringat akan sebuah perbincangan sore kemarin dengan salah seorang kakak senior di Himpunanku, AMISCA, yang telah menyelesaikan Program Magister (S-2) nya di Belanda. Aku banyak berdiskusi dengannya tentang kehidupan Pasca Kampus. Kehidupan setelah kelulusan program studi Sarjana di kampus gajah yang katanya hebat ini.

Setelah kupahami ternyata kehidupan pasca kampus tidaklah semudah yang dibayangkan. Begitu banyak hal menuntut kita untuk dapat hidup lebih mandiri, banyak hal yang memaksa kita untuk dapat berhenti bersikap kekanak-kanakan, bersikap manja dan tak mau bekerja keras. Ada terlalu banyak hal yang membuat kita harus berpikir dewasa.

Seperti contohnya, ketika kita akan memutuskan seusai diwisuda apa yang akan kita lakukan? Apakah kita hanya tinggal mengajukan lamaran pekerjaan, atau melanjutkan pendidikan. Jika mengajukan lamaran pekerjaan, mau diajukan ke perusahaan mana saja? Apa bidang keahlian kita? Selama menunggu panggilan pekerjaan, apa yang akan kita lakukan? Apa duduk dan diam saja dirumah dan membiarkan semuanya terjadi begitu saja? Atau ada hal lain yang kita lakukan. Jika Sampai 3 bulan tidak ada panggilan kerja juga, atau bahkan sampai 1 tahun lamanya tidak ada panggilan kerja, apa yang akan kita lakukan? Menjadi pengangguran dan tidak mengupayakan suatu hal?
Kalaupun misalnya ada yang memanggil kita bekerja di salah satu perusahaan, sedangkan bidang yang ditawarkan tidak sesuai dengan bidang kita atau kita merasa tidak pas dengan gajinya, apa kita akan menerima tawaran pekerjaan tersebut? Kalau kita terima, apa kita bisa nyaman dengan posisi seperti itu? Kalau tidak diterima, apa kita mau menunggu panggilan lainnya yang belum tentu kita dapatkan?
Ya, sederet pertanyaan-pertanyaan itu hanyalah sebagian kecil yang mungkin akan muncul ketika kita akan mengambil sebuah keputusan : ”Apa yang akan kita lakukan setelah Diwisuda nanti?”

Ketika kumencoba kembali merenungi, menimbang sebuah keputusan akan kubawa kemana perahu kecilku kubawa di samudra kehidupan ini, aku menjadi merasa semakin tak berdaya dihadapan-Nya. Aku dapat merencanakan semua itu dengan begitu matang, dengan begitu terperinci, hingga plot waktu dan targetan yang ingin kucapai.
Namun, kian hari aku kian menyadari tiadalah semua itu dapat terwujud ketika aku tak mampu menjalankan apa yang telah kurencanakan sedemikian rupa. Semua itu tak akan terjadi jika aku tak memohon petunjuk-Nya didalam mengambil keputusan. Semua itu tak akan berjalan sesuai dengan yang kuharapkan jika IA tidak mengizinkannya.

Aku menjadi tersadar kembali, bahwa kita hanyalah manusia biasa. Yang penuh dengan kekurangan, yang penuh dengan ambisi menggebu-gebu, yang penuh dengan keangkuhan akan kemampuan yang kita miliki.




Kita memang lemah
Kita memang tak berdaya di hadapan-Nya
Tak akan ada hal yang mampu kita lakukan
Tak akan ada hal yang dapat kita raih
Tanpa Izin dari-Nya

aku juga semakin tersadar,
meski manusia itu sedemikian lemah di hadapan Tuhannya,
Manusia diberikan kelebihan berupa akal untuk berpikir,
manusia diberikan kemampuan untuk berusaha,
berikhtiar semaksimal mungkin dengan segala daya upaya yang ia miliki

Ribuan buku di dunia ini telah mencatat jutaan sejarah yang diukir oleh orang-orang besar
Memahat kisah-kisah spektakuler yang tidak pernah kita kira akan terjadi
Semua itu memang terjadi karena upaya gigih yang dilakukan oleh tokoh-tokoh besar tersebut,
Namun jangan dilupakan, bahwa semua itu terjadi hanya atas kehendak-Nya

Aku menjadi semakin tersadar, bahwa seberapa keras kita berusaha
Serapi apapun kita merencakan,
Sehebat apapun kita mendewasakan diri kita
Apapun yang kita inginkan tidak akan tercapai
Jika kita tak mau mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Kehidupan
Jika kita enggan untuk memohon kepada-Nya untuk diberikan jalan terbaik dalam hidup

Karena kita hanyalah penulis naskah
Dan Tuhan adalah Sutradara
Dalam pangung sandiwara kehidupan ini

Ditulis dengan segenap harap dan kepasrahan kepada Allah, sang Pemiliki Kehidupan
Ruanganku, Hari ke 27
Minggu terakhir bulan desember
Di penghujung Tahun 2009

Menjadi Teko Dalam Kehidupan

"Jadilah teko, ia tidak hanya diam dan diisi oleh air, akan tetapi ia mengisi air kedalam gelas yang tengah kosong"


Kadangkala, dalam hidup kita sadari atau tidak, banyak diantara kita yang hidup hanya untuk dirinya sendiri.
Banyak yang hanya belajar dan belajar, tanpa mengamalkan dan membagikan ilmu yang telah ia pelajari kepada orang banyak.
orang-orang seperti ini ibaratnya emas yang hanya tampak indah kemilau saja, tanpa dapat memberikan manfaat selain keindahan bagi orang yang melihatnya dan mengenakannya.
Ia hanya dikagumi karena ilmu yang dimilikinya begitu tinggi. Ia disegani banyak orang kartena gelar yang telah ia sandang.
Tapi ia tak mampu membuat orang lain menjadi orang yang lebih bermanfaat dengan ilmunya.

Rekan-rekanku, janganlah kita hidup menjadi orang yang seperti ini.
Hidup tanpa menjadi solusi bagi oprang banyak. hidup tanpa memberikan manfaat kepada orang lain. BUkankah kita hidup tidak hanya untuk diri sendiri?
kita hidup untuk orang lain, kita hidup untuk orang banyak.
Kita tidak hidup hanya untuk saat ini, tetapi kita hdup di masa kini untuk masa yang akan datang.

Jadilah orang yang berguna dengan ilmu yang kita miliki.
Dan tak harus menjadi berilmu (bergelar S1, S2 S3, Ph.D ataupun profesor) untuk dapat memuliakan orang lain.
CUkup dengan ilmu yang telah kita bawa dari lahir..

Tak perlu menjadi pintar untuk dapat menjadi guru. BUkankah guru yang baik adalah ghuru yang berkata denghan perbuatan dalam kehidupan ini?

Jadikan kehadiran kita sebagai agen-agen yang mampu membawa kehidupan banyuak orang menjadi lebih baik.

Karena kita hidup untuk mereka.
Berpikir, berbenah dan bergerak.

Malam Tahun Baru : Bukan Sekedar ‘Ritual’ Tahunan Belaka

Teriakan terompet menggema diseluruh penjuru bumi. Suara bising nyaring itu keluar dari ribuan macam jenis terompet, dari yang ukurannya sebesar kelingking hingga yang ukurannya setara dengan ukuran tubuh seorang bocah berusia 10 tahun.


Dari yang suaranya memekakkan telinga hingga yang suaranya membuat dada bergetar hebat.

Peniupnya pun bermacam-macam. Mulai anak balita yang berumur 3 tahun hingga kakek-kakek bau tanah berusia 70 tahun, bahkan lebih dari itu.


Tak hanya terompet, sebagian orang cukup kreatif dalam upayanya untuk membuat orang tak dapat tidur nyenyak malam itu. Berbagai macam benda yang sekiranya akan mengeluarkan bunyi jika dipukul, ditendang ataupun dikoyak-koyak mereka keluarkan semuanya. Berkeliling kota, seolah mengatakan ”Selamat Menyambut Datanya Tahun Yang Baru, sahabat-sahabatku!!” melalui irama perkusi bekasnya itu.


Tak cukup meriah dengan keributan terompet dkk. sebagian besar menambahkan keramaian dengan semarak kembang api. Ribuan bola-bola panas diluncurkan menjulang ke angkasa, membuat jalur-jalur asap kecil tak tampak Lalu seketika memburai ditengah riuh ramainya manusia, menghiasi gelapnya langit malam dengan indahnya warna-warni keceriaan. Diiringi riuh ramai tepukan orang-orang yang menontonnya.



Kemeriahan malam itu semakin lengkap dengan hadirnya artis-artis dan band-band papan atas disejumlah panggung-panggung seni yang diadakan di sudut-sudut keramaian kota. Mengguncang hati para penontonnya. Membuat semuanya semakin larut dalam euforia malam pergantian tahun yang seolah-olah tanpa batas.

Begitu banyak orang mengisi waktunya malam itu dengan aktivitas yang sangat beragam. Sebagian besar lebih memilih untuk keluar rumah dan sekedar berkeliling kota, mencari keramaian dan kemacetan hingga pukul 24.00 tepat, sembari menyiapkan terompet dan perlengkapannya masing-masing. Ada juga sekelompok pemuda yang duduk melingkar, ditemani jagung bakar, ayam panggang dan sedikit ikan gosong lengkap dengan satu set bumbunya : Barberque, Rasa pedas, asam manis.


Sebagian yang cukup kreatif, mencoba membuat grafiti-grafiti indah disepanjang dinding-dinding usang yang telah terlupakan oleh peradaban. Menghiasi pinggiran kota dengan lukisan menarik mereka.

Sebagian lainnya hanya duduk bersama ditemani beberapa buah gitar dan beberapa jens minuman, mulai dari kopi, susu, teh, bandrek, Wedang Jahe, jamu, hingga minuman-minuman yang tak jelas apa rasanya. Moto mereka hanya satu : Makan Ga Makan, Asal Ngumpul.

Sembari diselingi gelagak tawa yang membahana.

Sebagian kecil lainnya yang biasanya berumur uzur lebih memilih untuk berbaring di sofa/ranjang empuknya ditemani bantal, guling dan selimut. Ya, Tidur!. Tidur telah menjadi salah satu pilihan alternatif untuk menghabiskan waktu dimalam ini. Mencoba acuh tak acuh dengan semua gegap gempita yang terjadi diluar sana.


Ya, begitulah gambaran kehidupan masyarakat kita disetiap penghujung tahun. Itulah ’ritual-ritual’ yang acapkali dilaksanakan, seolah-olah merayakan pergantian tahun telah menjadi bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dari kultur budaya kita. Ibaratnya, makan, kalo tahun baru ga dirayain, kurang afdol rasanya.

Namun, dibalik dinding-dinding hagemoni itu, disela-sela pilar-pilar hedonisme itu ternyata ada sekumpulan orang yang justru mengasingkan diri dari mewahnya kehidupan dunia. Mereka mencoba menjauh dari semua euforia berlebihan yang sedang mengkungkung kita saat ini. Mereka lebih memilih untuk berdiam diri, merenungi apa yang telah terjadi tahun ini dan apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi setahun kedepan. Mereka lebih memilih untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, Sang Pemilik Kehidupan.


Inilah fenomena yang setiap tahun selalu kita amati. Tak banyak yang berubah, selain waktunya saja. Tahun lalu, ada panggung seni yang luar biasa mewah, yang menghabiskan dana hingga milyaran rupiah. Masih sama dengan kondisi tahun lalu, ada begitu banyak perayaan yang mengisi malam itu.


Tak banyak yang berubah, kecuali perubahan itu sendiri.

Tak ada pemaknaan khusus di momen pergantian tahun ini.

Semuanya beralu begitu saja.

Hanya menyisakan kenangan.

Meninggalkan bekas-bekas kesenangan dihati setiap pengikutnya.


Tidakkah kita coba berdiam sejenak dan berpikir, ”Apakah makna pergantian tahun ini bagi kehidupanku dan kehidupan orang-orang disekitarku?”. Apakah manfaat dibalik ’senang-senang’ yang kita lakukan semalam tadi? Jika memang tak ada manfaat yang dipetik dari perayaan semalam, apakah kita tidak termasuk golongan orang yang celaka? Menghabiskan waktu hanya untuk sesuatu yang kurang berguna. Tidakkah kita malu terhadap waktu yang senantiasa tertawa melihat kita menyia-nyiakan dirinya?

Momen pergantian tahun baru bukan sekedar ’ritual’ tahunan.



Ini Bukan tentang pesta, bung...

Bukan tentang euforia tak terkendali.

Ini tentang sebuah momen perubahan

Menjadi insan yang lebih baik



Ditulis dengan tamparan atas diriku

Ruanganku, Hari kedua

tahun 2010